Alternatif Mekanisme Penyediaan Tanah bagi Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Di Perkotaan


Dalam RPJMN 2020 – 2024, pemerintah telah mencanangkan transformasi penanganan perumahan dan permukiman secara komprehensif, yaitu dengan fokus pada metode slum upgrading yang komprehensif, urban renewal, penataan permukiman kumuh ilegal, dan penyediaan perumahan dan permukiman baru. Penanganan isu perumahan dan permukiman ini dilakukan salah satunya dengan program Rumah Susun Perkotaan (1 Juta) yang akan fokus pada penyediaan hunian terjangkau di wilayah perkotaan khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah/MBR. 

Latar Belakang

Dalam RPJMN 2020 – 2024, pemerintah telah mencanangkan transformasi penanganan perumahan dan permukiman secara komprehensif, yaitu dengan fokus pada metode slum upgrading yang komprehensif, urban renewal, penataan permukiman kumuh ilegal, dan penyediaan perumahan dan permukiman baru. Penanganan isu perumahan dan permukiman ini dilakukan salah satunya dengan program Rumah Susun Perkotaan (1 Juta) yang akan fokus pada penyediaan hunian terjangkau di wilayah perkotaan khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah/MBR. 
Berbagai tantangan dihadapi dalam penyediaan rumah layak huni dan terjangkau bagi masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yaitu diantaranya fenomena urbanisasi dan kebutuhan ruang dan lahan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan permukiman khususnya bagi masyarakat ekonomi rendah yang tentu saja juga memiliki hak atas hunian yang layak. Selain itu, tantangan penyediaan tanah juga didukung dalam  orasi ilmiah Prof. Haryo terkait Urban Development through Local Partenership (UDeveLoP): Alternatif Konsep Penanganan Kumuh di Pusat Kota (2006), yaitu menjelaskan bahwa perencanaan kota yang ada selama ini mengatur lahan sebagai unsur bisnis yang mana penguasaan lahan sebagian besar dimiliki oleh pengembang besar sehingga menghambat kemudahan akses lahan untuk masyarakat. Hal ini menimbulkan berbagai kritik terkait sistem kebijakan pertanahan dalam perencanaan kota yang ada saat ini yang lebih cenderung mengarah ke sistem kapitalis (Winarso et al., 2010).
Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan urusan yang rumit untuk diselesaikan karena tidak ada lembaga yang bisa menangani permasalahan ini sendiri tetapi harus melibatkan berbagai level pemerintahan. Adanya kolaborasi dari berbagai kementerian/lembaga di pemerintahan dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan ini, diantaranya Bappenas, Kementerian PUPR dan Kementerian ATR/BPN.

Skema dan Alternatif Penyediaan Tanah

Selain keterlibatan berbagai pemangku kepentingan yang menjadi salah satu kunci utama pelaksanaan pemenuhan kebutuhan permukiman, adanya keterbatasan ketersediaan tanah mendorong pemerintah untuk mencari alternatif penyediaan tanah bagi hunian layak dan terjangkau bagi MBR, yang dapat dilakukan dengan berbagai pola penyediaan tanah. Skema pola penyediaan tanah ini telah dituangkan dalam kebijakan pemerintah Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, diantaranya:
  1. Pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai oleh Negara;
  2. Konsolidasi tanah oleh pemilik lahan;
  3. Peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;
  4. Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik Negara atau milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar
  6. Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hasil kajian data sekunder (McKinsey, 2014), dirumuskan 6 (enam) rekomendasi terhadap strategi alternatif penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), diantaranya:Mendayagunakan lahan di sekitar simpul transportasi publik (Hunian Terjangkau di sekitar Transit-oriented Development)
  1. Melepaskan Lahan Publik/Pemerintah di Lokasi yang Tepat untuk Pembangunan Perumahan
  2. Mendayagunakan Tanah Tidak Produktif atau Menganggur (Idle-land)
  3. Pembangunan melalui Penataan Lahan Kembali (Land Readjustment)
  4. Memastikan Hak yang Jelas dan Menformalkan Lahan Informal (Adminisitrasi Pertanahan)
  5. Reformasi Kebijakan Penggunaan Lahan Perkotaan dengan Elemen Perencanaan Inklusif
Dalam praktiknya keenam pola penyediaan tanah tidak dapat dilaksanakan terpisah dan memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga pemilihan alternatif didasarkan pada tujuan dan kebutuhan penyediaan tanah serta melihat kondisi dan status tanah yang akan dibebaskan. Alternatif pola penyediaan tanah juga memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing sehingga penentuan alternatif yang akan digunakan tergantung pada kondisi lokasi penyediaan tanah dan status tanah yang akan dibebaskan. Jika mempertimbangkan kepadatan wilayah perkotaan, alternatif yang direkomendasikan, yaitu sebagai berikut:

A. Mendayagunakan lahan di sekitar simpul transportasi publik untuk penyediaan perumahan dengan konsep Transit-oriented Development for Affordable Housing
Pendekatan “Smart Growth” yang mengkombinasikan pembangunan infrastruktur transportasi, perumahan dan perdagangan mengedepankan penyediaan lahan untuk perumahan terjangkau yang mendukung mobilitas pekerja. Dengan adanya pendayagunaan lahan di sekitar simpul transportasi publik dapat dimanfaatkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki mobilitas tinggi sehingga keberadaan pola ini dapat membantu masyarakat untuk mempersingkat waktu tempuh perjalanan menggunakan transportasi publik. Alternatif kebijakan ini didasarkan pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit dan Pedoman Teknis Aspek Transportasi dalam Kawasan TOD dari BPTJ Kementerian Perhubungan. 
Salah satu praktik penerapan penggunaan lahan di sekitar simpul transportasi publik untuk penyediaan perumahan, yaitu proyek rumah susun transit-oriented development kerja sama PT. Perum Perumnas dengan PT. KAI. Proyek tersebut terdapat di tiga lokasi stasiun. Tiga lokasi terdiri dari Stasiun Tanjung Barat (Semesta Mahata Tanjung), Stasiun Pondok Cina (Samesta Mahata Margonda), dan Stasiun Stasiun Rawabuntu (Samesta Mahata Serpong). Skema kerja sama yang dikembangkan yaitu PT. Perum Perumnas sebagai investor bangunan rumah susun, penyewa tanah serta pengelola, PT. KAI sebagai investor tanah yang disewakan, dan pemerintah daerah setempat membantu dalam proses administrasi dan rekayasa lalu lintas untuk mengurangi kemacetan. Proyek ini masih dalam tahap pembangunan sehingga masih perlu ditindaklanjuti sebagai salah satu pembelajaran.

Proyek Rusun TOD PT. Perum Perumnas dengan PT. KAI
Sumber: Bahan Paparan PT Perum Perumnas, 2020

Usulan yang dapat diperhatikan dalam pengembangan Kawasan TOD untuk mendukung penyediaan perumahan terjangkau berdasarkan kajian yang telah dilakukan Kementerian PPN/Bappenas tentang TODAH (Transit-oriented development Affordable Housing) (2019), diantaranya:
  1. Penerapannya pada kota-kota yang telah memiliki sistem transportasi publik yang cukup terintegrasi;
  2. Pentingnya lembaga pengatur pengelola pengembangan kawasan berorientasi transit;
  3. Penerapan KTV dan dukungan Reforma Agraria dengan menjamin hak-hak pemilik lahan dan memposisikan masyarakat sebagai shareholder, serta kepastian pembangunan;
  4. Tata Guna Lahan Campuran Tiga Dimensi yang rencana tata ruang tiga dimensi harus mulai dibuat dan ditetapkan, termasuk penetapan hak pengelolaan dan pembangunan udara dan bawah tanah.

    B. Melepaskan lahan publik atau pemerintah di lokasi yang tepat untuk pembangunan perumahan
    Mengingat wilayah perkotaan yang sudah mengalami pengurangan ketersediaan lahan kosong, penggunaan lahan milik pemerintah yang belum didayagunakan dan memiliki nilai yang rendah di bawah harga pasar dapat dijadikan sebagai alternatif untuk pembangunan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pelaksanaan alternatif ini mengacu pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Publik dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. 
    Kelebihan alternatif pengadaan ini diantaranya dengan optimalisasi pemanfaatan lahan untuk pembangunan dengan memanfaatkan lahan publik dapat mengurangi kesenjangan akses di dalam masyarakat, serta pelaksanaan ini dianggap lebih sederhana dan efisien daripada memacu pengembangan lahan milik pribadi. Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah milik Negara atau milik daerah telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah.
    Meskipun pelaksanaan alternatif ini telah memiliki dasar hukum yang kuat, masih terdapat tantangan dalam pelaksanaannya diantaranya tantangan administratif, seperti proses yang cukup panjang dan berat untuk clearing projects sesuai dengan ketentuan. Selain itu, praktik penyediaan tanah ini di Indonesia rawan terjadi penyalahgunaan anggaran untuk penyediaan tanah. 
    Penyediaan tanah untuk perumahan melalui mekanisme sudah sering digunakan karena pelaksanaannya yang lebih mudah dan umum digunakan. Praktik penyediaan tanah dengan melepaskan lahan publik/pemerintah di lokasi yang tepat untuk pembangunan perumahan yaitu Praktik Rumah Sehat Pohuwato. Skema yang digunakan yaitu pemerintah daerah membelikan tanah. Setelah itu, tanah tersebut diberikan kepada masyarakat. Sedangkan, pembangunan rumahnya mendapatkan bantuan dari dana desa. 

    Rumah Sehat Pohuwato

    Sumber: http://nawasis.org/portal/artikel/read/jalan-menuju-kesejahteraan-melalui-rumah-sehat-komunal-gerakan-perubahan-kabupaten-pohuwato-provinsi-gorontalo/51779

    Rekomendasi yang dapat diberikan untuk melepaskan lahan publik atau pemerintah di lokasi yang tepat untuk pembangunan perumahan yaitu:
    1. Kerja sama dalam penyediaan perumahan, dimana pembangunan fisik bisa melalui bantuan pemerintah pusat atau sumber pendanaan lain dari pihak ketiga melalui berbagai macam mekanisme kerja sama. 
    2. Pemerintah daerah memiliki peran membantu menyediakan peta tanah yang dapat didayagunakan, memberikan yang dimilikinya, dan/atau aktif membantu proses sejak tahap awal hingga akhir terutama saat clearing projects.
    3. Pemerintah pusat membantu dalam pengawasan penggunaan anggaran, teruatama anggaran penyediaan tanah.

    C. Mendayagunakan tanah tidak produktif atau menganggur (idle-land)

    Potensi tanah tidak produktif atau tanah menganggur (idle) lebih banyak berada di  di kota-kota satelit, seperti Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor (RUJAK RCUS, 2020). Alternatif pendayagunaan tanah tidak produktif atau menganggur pada lokasi tersebut yang mayoritas merupakan lahan privat milik pengembang atau individu dapat didayagunakan dengan segera melalui regulasi penerapan pajak progresif. Namun, peraturan penerapan pajak progresif untuk lahan menganggur di Indonesia belum disahkan, masih dalam bentuk rancangan regulasi yang belum ditindaklanjuti kembali.
    Selain itu, salah satu pemanfaatan tanah menganggur (idle land) yaitu dengan mendayagunakan tanah wakaf. Potensi tanah wakaf di Indonesia mencapai 2,7 milyar m2 yang tersebar di 466.595 lokasi (Siswahyudianto, 2016). Pendayagunaan tanah wakaf didukung oleh kebijakan diantaranya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Undang-Undang Cipta Kerja 2020. Namun demikian pelaksanaan alternatif ini masih perlu dukungan secara konstitusional dari pemerintah, sehingga regulasi disertai juklak dan juknis serta program-program yang dapat dimotori oleh pemerintah sendiri.

    Rusunawa Bojonegoro
    Sumber: Kementerian PUPR, 2020
    Salah satu praktik pendayagunaan tanah menganggur dengan menggunakan tanah wakaf di Indonesia untuk perumahan terjangkau yaitu Rusunawa Bojonegoro. Rusunawa Bojonegoro merupakan salah satu pilot project pemanafaatn tanah wakaf untuk pembangunan perumahan melalui skema kerja sama. Skema kerja sama ialah tanah wakaf aset lahannya dihibahkan ke NU, pembangunan gedung rusun mendapat bantuan dari Kementerian PUPR yang asetnya juga dihibahkan ke NU, dan pengelolaan rusun juga dilakukan oleh NU. Sistem kepemilikan unit rumah susun tersebut ialah sistem sewa per bulan dengan harga yang terjangkau.
    Rekomendasi pendayagunaan tanah tidak produktif atau menganggur (idle-land) untuk penyediaan perumahan MBR, yaitu:
    1. Dukungan regulasi berupa kemudahan atau insentif sebagai upaya kerja sama dengan investor/pengembang. Contohnya kemudahan administrasi perijinan dan penambahan waktu pakai/sewa.
    2. Mendorong penetapan pajak progresif untuk tanah menganggur atau idle-land (masih dalam bentuk RPP). 

    D. Pendayagunaan lahan melalui penataan kawasan kembali (land readjustment)

    Alternatif ini memang belum ada contoh untuk skala besar. Namun, alternatif ini memiliki potensi untuk dikembangkan karena sedang dilakukan kajian pengadaan tanah melalui KT/KTV untuk penyediaan perumahan oleh Kementerian ATR/BPN.
    Dalam pelaksanaan penataan lahan kembali, poin-poin yang perlu diperhatikan dalam Pengembangan Underutilized menggunakan metode KTV untuk peremajaan kawasan diantaranya:
    1. Pemetaan Status Sosial, partisipasi dan pendampingan masyarakat;
    2. Bentuk kerja sama dalam pembangunan;
    3. Jaminan hak atas tanah pemilik lahan dan konversinya, seperti hak milik, hak guna, dan hak pengelolaan;
    4. Pelaksaan KT juga harus memprioritaskan penyediaan hunian bagi MBR.
    Sedangkan, rekomendasi yang disusun guna mendukung pelaksanaan penyediaan tanah melalui penataan lahan kembali dengan metode konsolidasi tanah atau konsolidasi tanah untuk penyediaan perumahan, yaitu:
    1. Perlu ada program pembangunan yang dapat membiayai pembangunan perumahan sebagai tindak lanjut pilot Project KT/KTV.
    2. Sosialisasi dan publik konsultasi dengan masyarakat harus intens dan dapat menjelaskan dengan jelas manfaat proyek.
    3. Adanya integrator yang membantu mendampingi masyarakat dalam prosesnya.
    4. Menjadi program afirmatif terkait penataan kawasan di perkotaan dengan prinsip KTV untuk masyarakat eksisting dan kapasitas unit baru di area yang masih underutilized  baik secara KLB dan KDB.
    Alasan pemilihan alternatif ini dengan pertimbangan utama menekan biaya pengadaan tanah yang cukup besar untuk penyediaan perumahan oleh pemerintah. Hal ini dapat mendorong target RPJMN 2020-2024, salah satunya major project satu juta rumah susun. Masyarakat juga akan mendapatkan harga hunian akan lebih murah dan terjangkau, serta dapat menarik minat pengembang untuk berinvestasi. 

    Tentang Perkimpedia


    Perkimpedia adalah wadah dan sumber pengetahuan dan pengalaman penyelenggaraan bidang perumahan dan permukiman berbasis Web sebagai referensi pengembangan perencanaan program bagi para pemangku kepentingan. [Lebih Lanjut]

    Perkimpedia juga sebagai hub pengetahuan yang merupakan platform kolaborasi multipihak , dimana para pemangku kepentingan yang bergabung sebagai anggota dapat menambah dan mengedit isi situs dengan syarat dan ketentuan dari pengelola situs.

    Dokumen yang ditampilkan di portal ini adalah dokumen hiperteks yang akan secara otomatis menjadi referensi silang dengan dokumen lainnya (hyperlink), baik dengan dokumen yang termuat dalam halaman lain di Nawasis maupun website mitra dan/atau non mitra yang relevan.