Implementasi Hak Guna Bangunan (HGB) dalam Penyediaan Lahan Hunian di Perkotaan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
Sesuai dengan agenda SDGs 11.1, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh pada tahun 2030. Hal ini telah tertuang dalam RPJMN 2020-2024 yang fokus pada peningkatan akses masyarakat secara bertahap terhadap pemenuhan rumah layak, aman dan terjangkau untuk mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Berdasarkan data Susenas tahun 2020, persentase nasional rumah layak huni mencapai 59,54%, artinya masih ada 40,46% atau 29,4 juta rumah tangga di Indonesia masih tinggal di rumah yang tidak layak huni. Dari angka tersebut terdapat 36,8% atau 14,9 juta rumah tangga perkotaan yang tinggal di bawah kondisi standar mayoritas atau rumah tidak layak huni.
Isu Penyediaan Lahan di Perkotaan
Wilayah |
Persentase Kenaikan Harga Lahan |
Rata-Rata |
|||
2010-2011 |
2011-2012 |
2012-2013 |
2013-2014 |
||
DKI Jakarta |
18,21% |
21,01% |
14,65% |
10,85% |
16,18% |
Kota Tangerang |
28,57% |
22,22% |
63,64% |
27,78% |
35,55% |
Kota Tangerang Selatan |
16,38% |
18,52% |
25,00% |
22,00% |
20,47% |
Kota Bekasi |
28,57% |
23,33% |
49,10% |
19,34% |
30,08% |
Kota Depok |
32,00% |
51,52% |
25,00% |
40,00% |
37,13% |
Rata-Rata Kenaikan Lahan 2010-2014 |
24,45% |
Data di atas menunjukan bahwa harga lahan di wilayah Jabodetabek mengalami kenaikan di atas 10% setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, terbatasnya lahan perkotaan untuk perumahan, dan harga lahan dan rumah yang meningkat tajam telah membatasi ketersediaan rumah yang terjangkau dan layak bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Akibatnya sebagian dari masyarakat memilih untuk tinggal di pinggiran kota, sementara sebagian lainnya memilih menempati permukiman padat dan kumuh namun lebih dekat kepada akses lokasi pekerjaan dengan biaya sewa yang murah.
Pengertian Hak Guna Bangunan dan Sertifikat Hak Guna Bangunan
Dalam perspektif hukum tanah, terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah yang terdiri dari serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi para pemegang hak atas tanah. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 16, terdapat beberapa kategori hak atas tanah diantaranya yaitu:
- Hak milik;
- Hak guna usaha;
- Hak guna bangunan;
- Hak pakai;
- Hak sewa;
- Hak membuka tanah;
- Hak memungut hasil hutan;
- Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Berdasarkan hak-hak tanah tersebut, Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi salah satu jenis hak atas tanah yang telah diakui eksistensinya dalam Hukum Agraria Indonesia dan telah dijadikan sebagai salah satu alternatif penyediaan permukiman di tengah kondisi lahan yang terbatas. Pengertian HGB dalam UUPA Pasal (35) yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka paling lama 20 tahun, artinya potensi Hak Guna Bangunan yang diberikan memiliki jangka waktu maksimal 50 tahun. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan.
Dalam memperoleh HGB, sebelumnya harus memiliki sertifikat terlebih dahulu yang dinamakan dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Pengertian SHGB yaitu suatu hak dan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah atau negara, dimana pemegang SHGB memiliki hak untuk menggunakan sebuah lahan yang bukan miliknya. SHGB memiliki jangka waktu yang berlaku selama 30 tahun. Setelah SHGB berakhir, pemegang SHGB dapat melakukan perpanjangannya waktu selama 20 tahun. Artinya para pemegang HGB diberikan kekuasaan untuk menggunakan serta mendapatkan lahan tersebut selama 50 tahun (jika diperpanjang). Lahan dapat digunakan untuk mendirikan bangunan ataupun keperluan lainnya sesuai dengan perizinan dan jangka waktu yang telah ditentukan, dengan kata lain para pemegang sertifikat HGB hanya memiliki bangunan sedangkan lahan tetapi dimiliki oleh pemerintah atau negara.
Berdasarkan UUPA Pasal (37), menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Lebih lanjut lagi dijelaskan dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa kekuasaan tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Berpedoman dengan aturan tersebut, negara dapat memberikan tanah tersebut kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Adapun hak guna bangunan berdasarkan asal tanahnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal (12) diantaranya, adalah:
- Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara;
- Hak Guna Bangunan Atas Hak Tanah Pengelolaan;
- Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik;
Implementasi HGB
Permasalahan utama yang dihadapi dalam penyediaan lahan bagi perumahan MBR di perkotaan diantaranya yaitu terbatasnya ketersediaan lahan serta tingginya harga lahan. Selain itu lahan juga menjadi salah satu aspek dalam mencapai kota tanpa kumuh melalui pemberian penjaminan keamanan bermukim khususnya bagi MBR. Salah satu alternatif solusi yang dapat dilakukan yaitu melalui skema pemanfaatan Hak Pengelolaan yang kemudian digunakan dengan menggunakan Hak Guna Bangunan. Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Pasal (67) menyebutkan Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada:
- Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
- Badan Usaha Milik Negara;
- Badan Usaha Milik Daerah
- PT. Persero
- Badan Otorita
- Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah dapat diberikan Hak Pengelolaan
Gambar 1. Ilustrasi Skema Hak Atas Tanah dan Bangunan
Sumber: Kementerian ATR/BPN dalam Hasil Kajian SKHA Consulting, 2020
Keunggulan dan Hambatan dalam Pelaksanaan HGB di Atas HPL
Dalam melaksanakan skema HGB diatas HPL terdapat beberapa manfaat dan keunggulan bagi pengguna lahan diantaranya:
- Pemilik lahan yang memiliki hak pengelolaan dapat bekerja sama melalui perjanjian pemanfaatan tanah dengan Pihak Ketiga dan dikenakan tarif dan/atau uang wajib tahunan;
- HGB dapat diberikan status Satuan Rumah Susun diatasnya, sehingga dapat mendukung pembangunan hunian vertikal;
- Menurut Pasal 35 UUPA, jangka waktu HGB paling lama yaitu 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka paling lama 20 tahun. Artinya jangka waktu HGB dapat digunakan selama paling lama 50 tahun;
- Hak pemegang HGB dapat dialihkan kepada pihak lain.
Adapun hambatan dalam pelaksanaan HGB di atas HPL diantaranya yaitu:
- Proses perpanjangan, menyewakan dan menjual sangat menyulitkan, karena harus mendapatkan persetujuan pemilik HPL terlebih dahulu;
- Memastikan status HPL jelas dan bersih dari sengketa, karena beberapa HPL yang terbit masih
belum jelas dan bersih perolehannya; - Status HGB dapat terhapus sewaktu-waktu, dengan beberapa faktor penyebab diantaranya dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir;
- HGB diatas HPL tidak bisa dijaminkan, karena harus memperoleh persetujuan dari pemilik lahan.