Revolusi Mental Melalui KURASSAKI (Kurangi Sampah Sekolah Kita) di Kabupaten Tangerang
Urgensi Pengelolaan Sampah di Indonesia
Sebagian besar pengelolaan sampah di Indonesia menggunakan metode open dumping dan landfill, namun pengelolaan dengan metode ini dirasa tidak menjadi solusi secara berkelanjutan dan justru menimbulkan masalah lingkungan. Langkah awal dan yang menjadi utama yang dapat dilakukan pemerintah bersama-sama masyarakat adalah meminimalisir jumlah produksi sampah yang dihasilkan setiap harinya, terutama sampah yang tidak bisa didaur ulang.
Strategi Penanganan Permasalahan Persampahan Kabupaten Tangerang
Kurassaki Sebagai Terobosan Sekolah Bebas Sampah
Sumber: Bahan Paparan Narasumber Pemerintah Kabupaten Tangerang pada Acara Ngelantur
Sumber: Bahan Paparan Narasumber Pemerintah Kabupaten Tangerang pada Acara Ngelantur
Gambar 3. Lingkungan Sekolah Tanpa Tempat Sampah
Sumber: Bahan Paparan Narasumber Pemerintah Kabupaten Tangerang pada Acara Ngelantur
Kegiatan awal yang dilakukan dalam pelaksanaan program ini adalah mengundang beberapa kepala sekolah dan para komunitasnya untuk sosialisasi awal, serta melakukan kunjungan ke beberapa sekolah untuk melihat potensi dan peluang. Salah satu bentuk upaya dari program ini adalah dengan meniadakan tempat sampah di sekolah karena bagi Pemkab Tangerang, penyediaan tempat sampah sama saja dengan memfasilitasi timbulnya sampah. Hingga saat ini sudah terdapat ratusan sekolah di Tangerang yang menerapkan program ini dengan baik. Selain meniadakan tempat sampah, program ini juga mewajibkan para siswa membawa tempat makan dan minum dari rumah. Begitu juga dengan pedagang di kantin sekolah yang dilarang melayani siswa-siswi yang tidak membawa tempat makan sendiri. Hal ini diharapkan dapat membentuk kebiasaan baru bagi para siswa dan bisa membawa kebiasaan tersebut diluar sekolah. Sekolah juga membentuk satkes dengan beberapa kelompok kerja untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolah, salah satunya adalah pembuatan kompos dari sisa daun kering di lingkungan sekolah.
Setelah setahun menjalankan program ini, pihak sekolah mengaku tidak perlu lagi dipusingkan oleh masalah sampah seperti dulu karena sudah berkurang hingga 90% terutama sampah anorganik yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah Kabupaten Tangerang juga merasakan perubahan yang cukup signifikan, termasuk perubahan perilaku siswa yang membawa bekal hingga 95%. Hal ini berdampak otomatis pada penurunan volume timbulan sampah per hari karena meskipun ada siswa yang tidak membawa bekal dari rumah, mereka dapat membeli makanan dan minuman di lingkungan sekolah menggunakan tempat makan dan minum yang dibawa sendiri. Secara tidak langsung, perilaku ini memberi keuntungan bagi para pedagang di lingkungan sekolah karena tidak perlu mengeluarkan modal untuk menyediakan bungkus makanan dan minuman sekali pakai. Beberapa sekolah bahkan melakukan penyambutan siswa didepan sekolah pada pagi hari sekaligus mengecek apakah siswa membawa tempat makan dan minum dari rumah. Upaya ini merupakan bentuk pengawalan sekolah terhadap keberlanjutan program.
Gambar 4. Pengolahan Sampah Plastik dengan Pola Ecobrick
Sumber: Bahan Paparan Narasumber Pemerintah Kabupaten Tangerang pada Acara Ngelantur
Pedagang di lingkungan sekolah dilarang untuk melayani siswa yang tidak membawa tempat makan dan minum sendiri. Hal ini juga berlaku untuk pembelian makanan berkemasan, dimana isi makanan dituangkan atau dipindahkan ke tempat makan siswa, dan bungkusnya akan dikumpulkan oleh pedagang. Beberapa sekolah berkreasi mengolah sampah bungkus makanan dan minuman tersebut menjadi kerajinan tangan menggunakan pola ecobrick atau botol plastik yang dikemas dengan sampah plastik dengan kepadatan tertentu untuk membuat blok bangunan yang dapat digunakan kembali. Misalnya menggunakan kemasan air mineral 600 – 1.500 ml yang diisi dengan bungkus plastik dan dipadatkan, lalu dijajarkan dan diikat sehingga terbentuklah tumpukan yang bisa digunakan sebagai bangku atau meja.