Kerjasama Multisektor Kunci Sukses Mitigasi Dampak Perubahan Iklim

Isu perubahan iklim saat ini tengah menjadi sorotan dunia karena dampak yang dihasilkan telah mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat. Dikutip dari laporan Intergovernmental Panel on Climate Change yang ke enam, dunia saat ini sudah hampir berada pada titik dimana dampak perubahan iklim akan bertambah parah dan tidak dapat ditanggulangi lagi. Hal ini ditandai dengan peningkatan drastis kejadian bencana alam seperti banjir, kekeringan dan juga peningkatan ekstrim suhu udara serta intensitas curah hujan dalam beberapa tahun terakhir.
 
Dampak perubahan iklim pada siklus hidrologi juga turut berpengaruh pada akses air minum, sanitasi, dan higienitas. Berangkat dari hal tersebut, The International Water Centre dan Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade berkolaborasi mengadakan seri simposium Water & WASH Future pada tanggal 20 sampai 23 Juni 2022.
 
Sebagai pembuka rangkaian kegiatan ini, diadakan diskusi panel antar pegiat air minum dan sanitasi dari berbagai negara. Perwakilan Water Security Section Department of Foreign Affairs and Trade Australian Government, Peter O Connor, menyampaikan bahwa untuk mengatasi permasalahan ini perlu dukungan dan pembelajaran dari berbagai pihak yang telah berupaya melakukan peningkatan pelayanan air minum dan sanitasi yang terdampak perubahan iklim, “Saya berharap melalui kegiatan ini kita semua bisa mendapat pilihan alternatif dalam menangani isu ini lebih baik lagi di kemudian hari” jelasnya.
 
Sesi panel selanjutnya dimoderasi oleh Bronwyn Powell yang juga turut menghadirkan narasumber dari Indonesia, Nepal, Federasi Mikronesia dan Kamboja.
 
Analisa Dampak Sebagai Langkah Awal Mitigasi
 
Putaran pertama diskusi membahas tentang kondisi air minum dan sanitasi yang terdampak oleh perubahan iklim di berbagai negara. Indonesia yang diwakili oleh Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti menyampaikan bahwa untuk mengetahui rencana mitigasi, diperlukan analisis dampak yang komprehensif. Lebih lanjut, Virgi memaparkan bahwa, pelayanan serta infrastruktur air minum dan sanitasi di Indonesia sangat rentan terdampak perubahan iklim. Hal ini disebabkan sebanyak 80% masyarakat Indonesia belum menggunakan jaringan perpipaan sebagai akses air minum, serta mayoritas masyarakat belum memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang aman.
 
Perwakilan Pemerintah Nepal, Rajit Ojha menyampaikan bahwa pada tahun 2019, Nepal sudah mendeklarasikan bebas Buang Air Besar Sembarangan/ Open Defecation Free (ODF). Tantangan selanjutnya adalah mempertahankan status ODF, karena dampak dari perubahan iklim cukup besar pada infrastruktur sanitasi di Nepal. Rajit menyatakan bahwa analisis data yang komprehensif akan kondisi di masyarakat yang terdampak perubahan iklim menjadi penting sebelum menyusun rencana mitigasi.
                                                                                                                                     
Disisi lain, perubahan iklim juga berimplikasi pada ketersediaan air di area publik seperti perkantoran dan bandara di negara Federasi Mikronesia. Hal ini disampaikan oleh perwakilan dari Chuuk Public Utility Company, Mikronesia, Kembo Mida. “Saat ini, kami sedang menghadapi fenomena pasang air laut yang tinggi, atau kami sebut king tides, hal ini mempengaruhi pasokan air minum pada pulau utama, yang seharusnya akan dialirkan untuk kebutuhan warga sehari-hari” pungkasnya.
 
Kembo juga kembali menjelaskan, bahwa dampak dari perubahan iklim ini lebih rentan dirasakan pada masyarakat yang tinggal di area pulau. Saat ini, kondisi Mikronesia masih memiliki 39 pulau yang belum tersambung dengan akses listrik dan air minum.
 
Perwakilan lembaga donor, World Bank Kamboja, Virak Chan, juga turut menyampaikan hal serupa yang terjadi di negaranya. “Kamboja memiliki dua sungai utama sebagai sumber air minum masyarakat, dimana salah satu sungai terbesar yang biasa menyediakan air baku bagi 5.000 rumah tangga dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan volume dan kualitas secara drastis, sehingga mempengaruhi jumlah layanan air minum yang diberikan” jelasnya.
 
Selain pasokan air minum bagi rumah tangga, Menurut Virak, dampak dari perubahan iklim ini tentunya juga berpengaruh besar pada masyarakat yang memiliki mata pencaharian dari sungai tersebut, seperti nelayan, dan juga petani yang membutuhkan pengairan dari sungai.
 
Dukungan Multisektor Dalam Menanggulangi Dampak Perubahan Iklim
 
Sebagai upaya mitigasi dari kondisi yang terjadi pada negara masing-masing. Para narasumber membagikan langkah-langkah yang telah ditempuh, dengan harapan alternatif ini dapat direplikasi di negara lain.
 
Menurut Virak, seharusnya antar sektor dapat bekerjasama untuk mencari solusi yang tepat. Sebagai contoh, di Kamboja, kementerian/lembaga yang mengampu sektor WASH dan sumber daya air berbeda, dan kerap kali bekerja secara mandiri. Hal ini tentunya berimplikasi pada kondisi supply & demand di masyarakat, “Sektor pengampu sumber air tidak mengetahui berapa jumlah air yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat, dimana data ini dipegang oleh sektor WASH. Koordinasi antar dua sektor ini seharusnya perlu dilakukan, dan menurut saya tidak perlu terlalu saintifik, karena kebutuhan akan air sangat cepat, apalagi setelah adanya dampak perubahan iklim” pungkasnya. 
 
Sependapat dengan yang disampaikan Virak, Virgi menyampaikan bahwa Indonesia telah melakukan Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA), dimana banyak PDAM yang bergantung pada mata air sebagai sumber pasokan air. Kajian ini dilakukan melalui tujuh tahap, yang dimulai dari komitmen antar pihak baik itu pemerintah atau non pemerintah. ”Hal ini penting sebagai langkah awal, karena komitmen kerja sama menjadi landasan pelaksanaan kegiatan kedepannya” jelasnya.
 
Sebagai contoh, Virgi menyampaikan bahwa penerapan KKMA di Kota Salatiga merupakan kolaborasi antara pemerintah kota, PDAM, pemerintah desa dan dukungan CSR dari Coca Cola Foundation Indonesia. Hal ini terbukti berhasil, dilihat dari pembangunan sumur resapan yang meningkatkan pasokan air baku dari 800 liter per detik di tahun 2015, menjadi 1.100 liter per detik di tahun 2017.
 
Kolaborasi dan kerjasama antar pihak juga tentunya dibutuhkan pada saat penyusunan regulasi, yang dimulai dari pengumpulan data di tingkat masyarakat terlebih dahulu. Rajit kembali menegaskan bahwa analisa data yang tepat akan menghasilkan regulasi yang tepat juga, sehingga nantinya berimplikasi pada peningkatan taraf kesejahteraan hidup masyarakat secara menyeluruh. Lebih lanjut, Rajit mengharapkan agar kerjasama multipihak ini dapat turut melibatkan akademisi agar analisa data yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan akurat.
 
Terkait penyediaan data, Kembo turut menyampaikan bahwa akurasi data serta proyeksi yang jelas menjadi pintu masuk bantuan finansial dari lembaga donor. “Seperti yang kita ketahui, bahwa pendanaan akan air dan sanitasi ini menjadi lebih tinggi setelah adanya dampak perubahan iklim. Hal ini bisa ditanggulangi dengan bantuan dari lembaga donor. Namun sebelum bantuan diterima, kita harus bisa mempresentasikan kebutuhan kita dengan detail yang tentunya berlandaskan data yang akurat” jelasnya. 
 
Sesi panel dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab dengan peserta yang hadir secara daring. Pada akhir sesi, setiap narasumber kembali menekankan mengenai pentingnya ketersediaan data serta kerja sama yang baik lintas sektor, “Data sebagai bukti dampak yang dihasilkan, yang nantinya akan disusun dalam regulasi di tingkat pusat maupun daerah melalui kerjasama antar pihak. Namun yang terpenting saat ini ialah, kita harus bergerak cepat, dan lakukan apa yang kita bisa kerjakan dan kolaborasikan saat ini, karena kebutuhan akan air minum dan sanitasi yang aman merupakan hak dasar masyarakat yang patut dipastikan pemenuhannya” tegas Virgi menutup sesi diskusi hari ini (20/06).