Laksanakan Mandat Perpres No 98/2021, Bappenas dan Mitra UNICEF Adakan Konsultasi Daerah untuk Kembangkan Kerangka WASH Berketahanan Iklim

Perubahan iklim saat ini tengah menjadi sorotan dunia, dimana dampak yang dihasilkan berpotensi merusak akses dan layanan air minum, sanitasi, dan higienitas (water,sanitation.hygiene/WASH) dalam skala besar. Dampak ini diprediksi akan terus bertambah di kemudian hari, dan berimplikasi pada target-target pemenuhan akses dan layanan WASH yang telah dimandatkan oleh pemerintah dalam RPJMN tahun 2024 dan SDGs di tahun 2030.
 
Sebagai salah satu upaya, Kementerian PPN/Bappenas bersama mitra UNICEF saat ini tengah menyusun kerangka/framework inisiatif pengembangan WASH yang berketahanan iklim. Penyusunan kerangka ini juga sejalan dengan Peraturan Presiden No 98/2021 pasal dua terkait ketahanan iklim dan pengendalian emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
 
Untuk menyempurnakan kerangka ini, Kementerian PPN/Bappenas mengundang 11 kabupaten/kota dari 10 provinsi untuk berkonsultasi langsung terkait kerangka ini. Kegiatan dilakukan secara daring pada hari Selasa (02/08) dan dihadiri lebih dari 80 peserta.
 
Membuka kegiatan hari ini, Koordinator Bidang Air Minum dan Sanitasi Kementerian PPN/Bappenas, Nur Aisyah Nasution, menyampaikan bahwa penyusunan kerangka ini sebetulnya sudah dimulai tahun 2020. Kegiatan diawali dengan studi kasus di empat kota besar terkait dampak dari perubahan iklim terhadap infrastruktur sanitasi. “Hasil studi mencatat bahwa pada saat terjadi bencana, masyarakat tidak dapat mengakses toilet dikarenakan infrastruktur yang rusak. Hal ini berpotensi menimbulkan slippage, atau membalikan kemajuan dari capaian bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS)” jelasnya
 
Lebih lanjut, Aisyah menjelaskan bahwa hasil studi juga merekomendasikan empat aspek untuk dikembangkan kedepannya, yaitu terkait (a) tata kelola layanan, (b) keterlibatan masyarakat, (c) pembangunan infrastruktur, serta (d) pembiayaan. Keempat hal ini menjadi landasan untuk pengembangan kerangka WASH berketahanan iklim baik itu dari aspek adaptasi maupun mitigasinya.  “Harapannya dari kerangka ini kita dapat memetakan peran- peran antar pihak dengan lebih jelas, melakukan pengembangan kapasitas daerah, serta nantinya berpotensi melakukan kolaborasi pendanaan” pungkas Aisyah.
 
Melanjutkan paparan yang disampaikan Aisyah, Konsultan Penyusun framework WASH Berketahanan Iklim, Rudy Yuwono menjelaskan fitur sistem kerangka yang tengah disusun bersama. Rudy memulai paparannya dengan menegaskan definisi sistem WASH berketahan iklim yang saat ini bertujuan untuk membangun sistem air minum dan sistem sanitasi yang memiliki kapasitas untuk mengantisipasi, mempersiapkan, menanggapi, pulih dan berkembang dari dampak, risiko, dan kerentanan akibat perubahan iklim.
 
Sebagai contoh dari definisi yang dijelaskan, Rudy memaparkan fitur sistem WASH berketahan iklim yang melingkupi fitur akses informasi cuaca dan iklim, tenaga operator untuk melakukan tindakan pengamanan, serta pemilik rumah tangga yang melakukan pengurasan rutin tangki air.
 
“Dari contoh- contoh ini dapat kita lihat bersama, bahwa  sistem WASH berketahanan iklim ini memiliki scope yang  berbeda, dari scope rumah tangga, layanan publik, hingga komunal. Sehingga penting sekali penentuan scope bersama sebelum menentukan sistem WASH berketahanan iklim yang akan diambil” jelas Rudy.
 
Dari kajian dan contoh yang sudah dijelaskan, Rudy kemudian memaparkan 20 fitur sistem WASH berketahan iklim yang terbagi ke dalam 5 fitur utama yaitu (a) rendah karbon, (b) persistensi, (c) aman dan kuat, (d) siap beradaptasi, dan yang terpenting adalah (e) terhubung dan sinkron. “Fitur fitur ini nanti akan disesuaikan dengan scope yang akan ditinjau dan resiko dampak iklim pada daerah masing masing. Langkah awal yang perlu dilakukan ialah mengenali fitur yang sebetulnya sudah dimilik daerah. Terkait ini, sudah tersedia dokumen evaluasi kapasitas ketahanan iklim” jelasnya
 
Menutup paparanya, Rudy kembali mempertegas pentingnya penguatan ketahanan iklim, serta pentingnya daerah mengenali kondisi dan fitur yang sudah tersedia. “Tanpa penguatan ketahanan iklim, sistem WASH dapat kehilangan fungsinya baik itu secara temporer atau permanen. Sehingga sangat penting untuk kita mulai lakukan evaluasi kapasitas, kajian risiko pada daerah masing-masing, serta mendorong investasi untuk penguatan ketahanan iklim” jelasnya. 
 
Fitur- fitur yang dipaparkan tentunya menyangkut banyak aspek yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab banyak pihak, sehingga perlu dilakukan kerja bersama lintas sektor. Sepaham dengan hal ini, Nur Aisyah mempertegas bahwa penguatan ketahanan iklim ini sebaiknya tidak dilihat sebagai beban kerja tambahan, namun memang kontribusi yang perlu dilakukan bersama sebagai upaya memenuhi layanan akses bagi seluruh masyarakat.
 
Selanjutnya, Aisyah juga menegaskan bahwa pemerintah daerah diharapkan dapat langsung mengambil peran aksi yang dapat dilakukan secara cepat dengan entry point yang tepat. Selain itu, Aisyah juga menekankan pentingnya mainstreaming isu ketahanan iklim ini, agar lebih banyak komitmen kolaborasi yang dilakukan, khususnya pada isu pembiayaan dan investasi.
 
Kegiatan diakhiri dengan sesi diskusi antar kementerian/lembaga dan juga berbagi pembelajaran mengenai upaya yang telah dilakukan untuk penguatan ketahanan iklim di daerah masing-masing. Beberapa poin hasil diskusi antara lain (a) mayoritas daerah sudah menaruh perhatian pada WASH berketahanan iklim, dengan bencana paling banyak yang dialami ialah banjir, (b) dibutuhkan kerjasama lintas lembaga serta keterlibatan masyarakat untuk penguatan ketahanan iklim, dan (c ) diperlukan panduan praktikal ketahanan iklim yang dapat diaplikasikan langsung oleh pelaksana/masyarakat.