Menjawab Dilema Provinsi dalam Fasilitasi Sanitasi

JAKARTA — Rabu, 16 Oktober 2019

Menjalankan peran sebagai Pemerintah Provinsi untuk memajukan sanitasi bisa jadi seperti meniti tali. Meskipun capaian sanitasi menjadi bagian dari rapor Gubernur, namun Pemprov tidak boleh melakukan intervensi langsung ke wilayah kabupaten/kota.

Beberapa provinsi masih "meraba" koridor kewenangan ini. Lewat "Lokakarya Penguatan Peran Provinsi dalam Dukungan Program PPSP" dari Bappenas, Selasa (15/10) & Rabu (16/10) hari ini, para anggota Pokja PPAS/AMPL Provinsi pun memantapkan kembali pemahaman tentang langkah-langkah pendampingan yang dapat mereka lakukan.

Kasubdit Sanitasi Wahanudin, mewakili Direktorat Perkotrumkim (Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman) Bappenas, memaparkan arahan pembangunan sanitasi dalam Program PPSP. Bekal ini dilengkapi ulasan dasar hukum mengenai peran provinsi dalam pembangunan sanitasi oleh Kasubdit Perumahan & Permukiman Nita Rosalin, Dirjen Bangda, Kementerian Dalam Negeri. Sementara itu, paparan mengenai dukungan Pusat terhadap Provinsi dari segi pengadaan infrastruktur pun disampaikan oleh Kasubdit Perencanaan Teknis M. Rizat Abidin dari Direktorat PPLP.

Dari tanggapan para peserta, terlihat sudah ada sejumlah inisiatif dari provinsi dalam mendampingi kabupaten/kota. Akan tetapi, masih terdapat keraguan apakah inisiatif-inisiatif ini sejalan dengan tupoksi provinsi.





Provinsi Gorontalo, misalnya, selama ini menganggarkan pembangunan MCK lewat APBD. Akan tetapi, menyadari Tupoksinya lewat UU no. 23/2014, langkah ini tidak lagi dilakukan.

"Apa yang perlu kami lakukan supaya kami tidak salah langkah ketika kami melakukan pembangunan fisik?" tanya Yuliana Rifai dari Bidang Cipta Karya, Dinas PU Gorontalo. "Peran kami sebenarnya seperti apa?"

Menjawab hal ini, Kasubdit Perumahan & Permukiman Nita Rosalin dari Dirjen Bangda Kementerian Dalam Negeri mengacu kepada PP No. 2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM). Menurut PP SPM tersebut, pekerjaan umum Daerah Provinsi lebih menyangkut kepada infrastruktur regional. Dibandingkan intervensi langsung, provinsi lebih dianjurkan untuk mencermati penganggaran kabupaten/kota. Jika memang APBD kabupaten/kota terbatas, maka kabupaten/kota pun dapat memanfaatkan Dana Alokasi Khusus (DAK). Di sini, provinsi berperan memverifikasi pengajuan DAK tersebut.

Di samping itu, dalam memenuhi peran 'fasilitasi', provinsi juga dapat menggunakan anggarannya untuk membiayai fasilitator tingkat provinsi secara mandiri. Menurut Kasubdit Sanitasi Laisa Wahanudin, provinsi juga dapat saja melakukan pengadaan fasilitator hingga ke tingkat kabupaten/kota. 

Dalam memaksimalkan potensinya pendampingannya, sesuai Surat Edaran Mendagri, Pokja PPAS Provinsi dapat mengacu kepada 6 peran utamanya yaitu koordinasi, advokasi, advisori, fasilitasi, supervisi, dan sinkronisasi. Mengingat SPM sebagai bagian dari rapor kepala daerah, Nita mengingatkan bahwa akan ada sanksi administratif untuk ikut diklat di Kemendagri bagi kepala daerah yang lalai memenuhi targetnya.

Sebagai buku pegangan bagi provinsi, saat ini tengah disusun dokumen Manual Pengelolaan Program (MPP) PPSP 2020-2024. Sesi tersebut pun ditutup dengan diskusi antar peserta untuk masukan bagi draft MPP PPSP.




Di samping arahan, lokakarya juga turut menghadirkan Pokja Jawa Timur dan Sulawesi Utara untuk berbagi mengenai kisah sukses pendampingan mereka kepada kabupaten/kota. Di hari ke-2 hari ini, lokakarya pun akan berfokus mengasah kemampuan pokja provinsi dalam mengawal pendanaan, melakukan monev (monitoring evaluasi), serta melakukan langkah-langkah advokasi.

***