Pembebasan PPN Air Limbah Domestik di Indonesia: Kenapa Tidak?

Untuk mendukung pencapaian target sanitasi (air limbah dan dalam SDGs, saat ini sedang dikaji pembebasan PPN untuk pengelolaan air limbah domestik. Kajian ini dilakukan oleh Tim Peneliti dari Lembaga Penelitian Penerimaan dan Perpajakan Negara yang dimotori oleh Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si (Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia), yang bekerjasama dengan FORKALIM dan didukung oleh USAID IUWASH PLUS.

 

Pada FGD Rekonstruksi Kebijakan PPN atas Air Limbah Domestik yang diselenggarakan hari ini (Rabu, 29 Januari 2020) di Hotel Four Points Jakarta Pusat, Prof. Haula menyatakan rekomendasinya bahwa menimbang peran strategis sistem pengelolaan air limbah domestik, maka perlu dirumuskan kebijakan fasilitas PPN atas sistem pengolahan/pengelolaan air limbah domestik yang komprehensif, holistik, dan imparsial – dari hulu ke hilir, mulai dari intake (termasuk juga barang dan jasa yang dibutuhkan dalam sistem pengelolaan air limbah domestik) hingga kepada output (hasil dari dari pengelolaan air limbah domestik).

 

Selain itu, kebijakan pembebasan PPN atas jasa pengolahan/pengelolaan air limbah domestik harus dibatasi hanya untuk jasa yang dilakukan oleh Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah daerah dengan berbagai bentuknya (SKPD, BLUD Perusahaan Daerah (PD) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan demikian, swasta murni tidak termasuk subyek PPN (pengusaha kena pajak) yang mendapatkan fasilitas PPN atas sistem pengolahan/pengelolaan air limbah domestik.

 

Rekomendasi tersebut didasarkan dari kesimpulan kajian yang dilakukan oleh tim peneliti LP3N, yaitu pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sistem pengolahan/pengelolaan air limbah domestik sangat diperlukan karena PPN mempunyai dampak terhadap 2 (sisi) yaitu cost (terkait Pajak Masukan) dan harga (terkait Pajak Keluaran). Selain itu, sanksi perpajakan yang paling berat dibandingan seluruh jenis pajak pajak lainnya adalah PPN. Cost of taxation yang tinggi tersebut akan diminimalisir apabila sistem pengolahan/pengelolaan air limbah domestik diberikan fasilitas pembebasan PPN.  Masih bagian dari kesimpulan kajian, pemberian fasilitas PPN atas sistem pengelolaan air limbah domestik merupakan praktek yang diadopsi banyak negara di dunia, yang sesuai dengan prinsip dasar bahwa penyediaan akses sanitasi merupakan salah satu kewajiban pemerintah, sehingga tidak memenuhi legal character PPN sebagai indirect tax on consumption – utamanya yaitu private consumption. UU No 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada  Penjelasan Pasal 16B dinilai memberikan ruang untuk pemberian fasilitas PPN atas sistem pengelolaan air limbah domestik, yaitu untuk menjaga ketersediaan air bersih untuk masyarakat Indonesia.

 

Prof. Haula juga menyatakan bahwa secara agregat, manfaat yang akan diterima pemerintah (serta seluruh rakyat Indonesia) atas kebijakan pembebasan PPN atas sistem pengelolaan air limbah domestik jauh lebih besar dibandingkan revenue forgone dari potensi penerimaan PPN atas jasa pengolahan air limbah domestik.

 

FGD ini merupakan FGD ke-2 dalam tema yang sama, yang dihadiri oleh perwakilan Ditjen Pajak, BKF, Bappenas, PUPR, Kemkes, Kemenko-Ekonomi, serta Ketua FORKALIM bersama dengan perwakilan beberapa anggota FORKALIM dari berbagai kota di Indonesia. 

 

Rekomendasi kajian tersebut akan dibawa dalam diskusi lebih lanjut antar lintas K/L untuk penyusunan naskah akademis untuk penyusunan peraturan perundangan yang sesuai. Kajian ini juga akan terus diperkaya terutama dalam narasi urgensi sistem pengelolaan air limbah domestik yang baik dan kaitan yang erat antara pengelolaan air limbah domestik dan kerugian ekonomi serta isu stunting di Indonesia.