Pentingnya Air Minum Aman untuk Menjawab Kebutuhan Perilaku Higiene Saat Pandemi

Pandemi Covid-19 belum menunjukan tanda-tanda berakhir dalam waktu dekat ini, meski di beberapa negara jumlah pasien terinfeksi perharinya telah mengalami penurunan dan kebijakan lockdown juga sudah dihapuskan, namun semua pihak masih diminta untuk tetap waspada, menerapkan aturan jaga jarak, hingga belum diperbolehkan berkumpul dalam jumlah besar. Semua aturan itu diterapkan tentu untuk mencegah terjadinya penyebaran virus corona.

Berdasarkan situs resmi pemerintah terkait Covid-19 di www.covid19.go.id hingga tanggal 9 Juni  2020, pasien positif di Indonesia telah mencapai 33.076 jiwa dengan pasien sembuh sebanyak 11.414 jiwa dan korban meninggal yaitu 1.923 jiwa.

Pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan diri merupakan tuntutan yang perlu dilakukan untuk menghindari penularan virus Covid-19. Kepemilikan akses air minum aman, sanitasi aman serta akses fasilitas higiene merupakan kunci agar kita bisa tetap hidup bersih dan sehat. Air minum dan sanitasi aman, serta perilaku higiene mutlak diperlukan untuk pencegahan segala penyakit karena disinfeksi air dan pengelolaan sanitasi serta praktik higiene yang tepat dapat mengurangi keberadaan virus. Praktik Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) dengan air bersih mengalir menjadi cara efektif untuk mencegah terjadinya penyebaran virus Covid-19 melalui permukaan.

Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui ketahanan virus di air dan air limbah, serta bagaimana membuat virus tersebut inaktif dalam air. Wang et.al. (Journal of Virological Methods, 2005) menginvestigasi bahwa ketahanan virus SARS-CoV-1 dari tinja, urine, dan air pada berbagai temperatur. Lebih lanjut Wang menemukan bahwa virus SARS CoV-1 inaktif lebih cepat pada air limbah dengan suhu 200C dalam waktu 2 hari dibandingkan pada suhu 40C dalam waktu 14 hari. Virus Covid-19 dapat berada di air yang tidak diolah, walau tidak ditemukan pada jaringan air minum. Temuan lainnya yang mengatakan bahwa virus Covid-19 tidak dapat diekstraksi dari tinja (wolfel et.al., 2020) dan jika berada di air, kemungkinan virus tidak aktif setelah beberapa hari (Wang et.al., 2005) serta virus corona lainnya tidak terdeteksi di air permukaan dan air tanah mengindikasikan bahwa risiko transmisi virus Covid-19 melalui air minum adalah rendah.

Penelitian yang ada juga menunjukkan bahwa teknologi perpipaan dinilai lebih aman dibandingkan teknologi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) lainnya seperti pompa, sumur dan mata air terlindungi. Lantas apa yang dapat dilakukan untuk menjamin penyediaan air minum perpipaan yang aman? Tentu saja hal ini tidak bisa dilihat hanya dari satu bagian. Penyediaan air minum aman harus dilakukan secara komprehensif dalam satu kesatuan rantai pasok, mulai dari sumber sampai dengan ke konsumen. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keamanan air adalah dengan melindungi sumber air, mengolah air baik pada jaringan distribusi, titik pengumpul dan titik konsumsi, serta memastikan air minum yang didistribusikan, diolah dan disimpan secara aman oleh rumah tangga.

Dalam studinya, Wang et.al. (Journal of Virological Methods, 2005) menyatakan bahwa sistem perpipaan lebih aman karena pengolahan pada  Instalasi Pengolahan Air (IPA) merupakan upaya yang tepat untuk mencegah virus Covid-19 dan bakteri, protozoa, sserta virus lainnya. Covid-19 merupakan virus RNA dengan struktur lipid­-envelope dan umumnya sensitif terhadap disinfektan seperti klorindibandingkan dengan virus lainnya yang ada di air. Untuk itu, desinfeksi menjadi penting dan pada air minum perpipaan adaya kadar residual klorin yang tetapt mengindikasikan bahwa air aman dari mikrobiologi termasuk virus. Untuk proses disinfeksi yang optimal, residual klor yang harus tersedia minimal adalah 0,5 mg/L dengan nilai pH air dibawah 8,0. Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010 tentang Kualitas Air Minum mengatur bahwa batas maksimum kadar klorin pada air minum adalah 5 mg/L. Pada sistem perpipaan, residual klorin harus dapat dijaga selama air mengalir di sistem distribusi. Selain klorinasi, teknologi lain yang dapat digunakan untuk inaktivasi virus adalah radiasi Ultraviolet (UV), Ozon dan Filtrasi Membran.

Untuk menjamin kualitas air minum dan mencegah terjadinya rekontaminasi, WHO merekomedasikan tools manajemen pengelolaan air minum agar tidak mengandung virus dan kontaminan biologis lainnya. Manajemen ini dikenal dengan istilah Water Safety Plan (WSP) atau diterjemahkan menjadi Rencana Pengamanan Air Minum (RPAM). Di Indonesia, RPAM merupakan kebijakan penyediaan air minum aman yang diusung sejak tahun 2012 dan masih terus dikembangkan. Implementasi RPAM menjadi hal yang wajib dilakukan oleh penyelenggara SPAM seperti PDAM, Kelompok Pengguna SPAM, para pengusaha air, dll untuk memastikan air minum yang didistribusikan kepada konsumen masuk dalam kategori aman secara kualitas, yaitu memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010 tentang Kualitas Air Minum.

Dalam RPAM, penyelenggara SPAM akan memetakan risiko-risiko yang mungkin terjadi dan menyebabkan terjadinya kontaminasi dan/atau rekontaminasi pada Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Risiko yang telah dipetakan akan diukur tingkat keparahan (severity) dan probabilitas kejadiannya (likelihood). Semakin tinggi tingkat keparahan dan peluang kejadian suatu risiko, maka risiko ini menjadi prioritas utama untuk ditangani. Pemetaan risiko ini akan terus berlangsung, atau dapat dikatakan bahwa RPAM adalah tools yang “hidup” dan terus berputar.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa pengamanan air minum tidak berhenti sampai titik terjauh jaringan distribusi, pengelolaan di rumah tangga juga menjadi kunci utama. Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga (PAM-RT) merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh rumah tangga untuk mencegah terjadinya rekontaminasi air minum. PAM-RT merupakan salah satu pilar dalam program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) atau lebih dikenal dengan STBM Pilar 3. Melalui PAM-RT, masyarakat diajak untuk memastikan air minum di rumah tangga diolah, diwadahi, dan disimpah secara aman. Bagaimana cara memastikan agar kualitas air minum tetap aman? Pewadahan. Ya, pewadahan adalah kunci penting untuk menjamin agar tidak terjadi rekontaminasi pada air minum. Wadah yang digunakan harus wadah yang kuat, terbuat dari bahan stainless steel, keramik, kaca dan/atau terbuat dari plastik seperti ember, teko plastik, ember atau wadah lainnya. Satu hal tidak kalah penting adalah wadah tersebut harus dipastikan tertutup sehingga dapat terhindar dari potensi pencemaran. Masyarakat juga perlu membersihkan wadah secara berkala, agar kualitas air minum yang disimpan tetap aman.

Bagaimana jika masyarakat menggunakan jenis teknologi bukan perpipaan seperti sumur galian, sumur bor, mata air terlindung dan Penampungan Air Hujan (PAH) sebagai sumber air minum? Jika demikian, maka hal yang pertama dilakukan adalah memastikan kebersihan disekitar sumber air baku. Masyarakat juga perlu melakukan pengujian awal terhadap kualitas air bakunya. Jika kualitas air baku terlihat berwarna, berbau dan memiliki rasa, maka perlu dilakukan pengolahan awal terhadap air baku, seperti melakukan filtrasi dan menambahkan klorin untuk proses disinfeksi. Hal ini penting untuk menjamin kualitas air minum yang aman.

Demi memutus rantai penularan virus Covid-19, seluruh upaya pengamanan air minum ini perlu dilakukan secara simultan dan berkelanjutan. Penyedia layanan air minum dan masyarakat serta stakeholders lainnya memiliki perannya masing-masing untuk menjamin kualitas air yang aman. Ketersediaan air minum yang aman tetap menjadi kunci utama untuk mewujudkan perilaku higiene yang sehat serta sanitasi yang aman.