Sudah Amankah Akses Sanitasi dan Air Minum Kita Saat Ini?

Dalam rangka mengampanyekan akses sanitasi aman kepada masyarakat, Analisis Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan UNICEF, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian PUPR menggelar webinar yang berjudul “Sudah Amankah Sanitasi di Rumahku?”.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2019, penyakit diare merupakan penyebab kematian pertama pada balita di Indonesia hingga 10,7%, salah satunya akibat kondisi sanitasi yang kurang baik. Gangguan kesehatan ini jika terjadi terus menerus berpotensi menghambat perkembangan fisik dan intelektual pada anak.

Meskipun praktik buang air besar sembarangan (BABS) di tempat terbuka telah menurun sebanyak 11,79% sejak tahun 2011, kampanye akses sanitasi yang layak dan aman perlu terus digencarkan.

Berdasarkan data Bappenas tahun 2021, pada tahun 2020 hanya 7,64% rumah tangga Indonesia yang sanitasinya terkelola dengan aman. Bahkan temuan terbaru pemerintah Indonesia, sebanyak 70% sumber air minum yang dikonsumsi rumah tangga di Indonesia tercemar bakteri E.Coli.

Direktur Perumahan dan Permukiman Kementerian PPN/Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti menyampaikan konsep dan definisi akses sanitasi dapat digolongkan menjadi 5 hal. Pertama, masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelaku BABS di tempat terbuka apabila tidak memiliki toilet atau memiliki toilet namun tidak menggunakannya.

Kedua, masyarakat dapat dikategorikan sebagai akses belum layak pada sanitasi apabila masyarakat yang sudah memiliki toilet tertutup dengan jenis kloset leher angsa, namun pembuangannya tinjanya langsung ke sungai/ladeng atau area terbuka lainnya.

Ketiga, masyarakat dapat dikategorikan telah memiliki akses layak bersama apabila rumah tangga memiliki toilet dengan leher angsa dan terhubung dengan IPALD, menggunakan tangki septik, atau lubang tanah/cubluk (khusus perdesaan).

Keempat, masyarakat dapat dikategorikan akses layak sendiri apabila memiliki toilet dengan kloset leher angsa yang dimiliki sendiri dan tidak bersifat kepemilikan bersama tangga yang lain dan pembuangannya langsung ke tangki septik yang belum disedot selama lebih dari 5 tahun.

Terakhir, masyarakat dapat dikategorikan memiliki akses sanitasi aman apabila toilet rumah tangga dimiliki sendiri, dengan leher angsa yang terhubung dengan IPALD atau menggunakan tangki septik yang disedot setidaknya 1 kali dalam kurun waktu 3-5 tahun.

Kemudian Virgi kembali menyampaikan capaian akses sanitasi di Indonesia untuk BABS di tempat terbuka baru mencapai 6,19%, akses belum layak 14,28%, akses layak bersama 7,15%, akses layak sendiri 64,7% dan akses aman 7,64%.

Dengan capaian tersebut, jika dibandingkan dengan tahun 2017 hingga 2020, untuk akses sanitasi aman mengalami peningkatan sebesar 0,08% per tahunnya yang mana pada tahun 2017 untuk capaian akses sanitasi aman baru mencapai 7,39%.

Akses sanitasi yang buruk di Indonesia tidak lepas dari ketimpangan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Masyarakat di Indonesia dengan tingkat ekonomi paling rendah memiliki akses sanitasi yang masih jauh tertinggal (Sumber:UNICEF). sanitasi yang dikelola dengan aman merupakan salah satu target dari kesejahteraan masyarakat dan juga menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) keenam..

Salah satu upaya yang dilakukan adalah menjaga jarak aman antara tangki septik dengan sumber air tanah. Upaya lain antara lain dengan membangun IPALD skala kota. “Saat ini untuk wilayah perkotaan di Pekanbaru, Jambi, Palembang, dan makasar sedang dibangun 4 sarana IPALD” ungkap Perwakilan dari Direktorat Sanitasi Kementerian PUPR, Asri Indiyani.

Kemudian Asri juga menyampaikan sebanyak 5.517 unit sarana dan prasarana sanitasi telah terbangun di Lembaga Pendidikan Keagamaan (LPK) dan sebanyak 3.085 lokasi di Indonesia telah dibangun fasilitas Sanitasi Perdesaan Padat Karya.

Selanjutnya, Asri juga berpendapat masyarakat dapat terlibat langsung dalam upaya pencapaian akses sanitasi aman dengan cara menyediakan infrastruktur tingkat rumah tangga, melakukan praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan berpartisipasi aktif dalam operasi dan pemeliharaan seperti melakukan pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang terdapat dalam persil (toilet, grace trap, dan bak kontrol).

Sejalan dengan dua penyampaian diatas, Spesialis WASH Unicef, Maraita Listyasari menyampaikan ketercapaian sanitasi di Indonesia sangatlah beragam, sebut saja di Nusa Tenggara Timur untuk akses sanitasi aman baru mencapai 0,60% sedangkan di Sulawesi Tenggara mencapai 1,12%, dan DI Yogyakarta untuk capaian sanitasi aman mencapai 13,63% sedangkan di DKI Jakarta telah mencapai 15,85%, namun hal tersebut dibuat rata-rata nilai capaian dari keseluruhan wilayah di Indonesia dan menyepakati bahwa untuk sanitasi aman di Indonesia secara nasional baru mencapai 7,64%.

Maraita juga menyampaikan berdasarkan pengumpulan data yang disebar kepada 10,978 responden dan dilakukan pada periode 10 November 2021 hingga 24 Januari 2022 diketahui bahwa sebanyak 34,7% mengaku membutuhkan layanan jasa bila ada masalah, sebanyak 26,2% responden mengaku tidak mengetahui kapan terakhir kali melakukan penyedotan
septic tank dalam rumah tangganya.

Masih dalam pembahasan yang sama Maraita kembali menyampaikan lebih dari setengah responden mengaku telah menggunakan akses jamban terhubung dengan septic tank sebesar 50,2% dan diikuti dengan jamban yang terhubung dengan pipa sewer sebesar 27,9%.

Kemudian dari kedua data yang disampaikan oleh Maraita sebagian besar responden berpendapat bahwa kepemilikan
septic tank sudah menjadi hal umum yang harus dimiliki bagi setiap rumah tangga, responden juga berpersepsi bahwa sanitasi yang aman itu adalah memiliki toilet yang bersih dan tidak berbau, dan terakhir banyak responden yang merasa tidak perlu dilakukan penyedotan oleh septic tanknya terkecuali penuh, mampet, dan bau.

Sebagai penutup, dengan adanya permasalahan dan berbagai isu sanitasi yang dihadapi oleh indonesia saat ini, tentunya sanitasi indonesia masih berpeluang untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai capaian yang telah ditargetkan adalah dengan kolaborasi antara para pemangku kepentingan dengan masyarakat.