Sulsel Mengakrabkan Media Massa dengan Isu Sanitasi

MAKASSAR — Senin, 10 September 2018

Bicara advokasi isu sanitasi, terkadang tidak cukup jika hanya mengandalkan komunikasi top-down ataupun bottom-up. Ada tembok-tembok birokrasi yang kerap menghambat penyampaian gagasan secara utuh. Keberadaan pihak ketiga pun dinanti, demi mengakali hambatan ini. Salah satunya, yang vital namun asing dengan isu sanitasi, adalah media massa.

Dalam rangka mengakrabkan isu sanitasi di kalangan media, Pokja AMPL Provinsi Sulawesi Selatan--bekerjasama dengan USAID Iuwash Penyehatan Lingkungan untuk Semua, UNICEF Indonesia, USDP, Yayasan BaKTI, Satker PSPLP, PAMSIMAS, PPSP, STBM pun mengadakan "Diskusi Tematik Media".

Mengundang 19 orang perwakilan media massa cetak, online, maupun radio, diskusi yang digelar Senin (10/9) ini sekaligus bertujuan memperkaya wartawan lokal dengan wawasan akan pentingnya ajang Anugerah Saoraja AMPL Award 2018. Di tahun perdananya ini, Anugerah Saoraja AMPL Award mengusung tema 'SATU SUARA - Sanitasi dan Air Minum Tuntas di Seluruh Sulawesi Selatan'.

"Teman-teman [wartawan] punya peran penting dalam mengubah mindset," ungkap Yudi Wijanarko dari Urban Sanitation Development Program (USDP). "Biasanya pemerintah akan lebih 'kerasa' kalau disuarakan oleh orang lain. Advokasi-advokasi dari pihak luar ke pemerintah memang paling efektif." Yudi melanjutkan.

Sebagai salah satu panelis sekaligus mantan wartawan, Yudi Wijanarko paham betul kendala wartawan dalam memberitakan suatu isu spesifik.

"Kita kan selalu banyak target di lapangan, jadinya kita 'tahu banyak isu, tapi sedikit'," tandasnya. "Seringkali kalau isunya tidak terinformasikan, kita malas mencari. Akhirnya politik, ekonomi saja lingkupnya. Hal seperti sanitasi masih jarang kita suarakan bersama-sama."

Kondisi lapangan di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) menunjukkan fakta-fakta yang mencemaskan. Diperkirakan, jumlah tinja yang dihasilkan oleh seluruh penduduk Sulsel mencapai 2.192 ton/hari, atau setara dengan 281 truk tronton. Untuk mengelola limbah tinja ini, hanya 5 IPLT yang beroperasi dar total 11 IPLT yang ada di Sulsel. Padahal, idealnya masing-masing 24 kabupaten/kota memiliki 1 IPLT sendiri. Dengan kata lain, sebagian besar tinja di Sulsel masih belum terolah dengan baik dan mencemari lingkungan.

Agar tidak mencemari air tanah, setiap keluarga idealnya memiliki jamban yang memenuhi standar 'layak' dengan tersambung ke tangki septik, tangki septik yang kedap, serta tangki septik yang dikosongkan secara berkala.

Selain dari menyebutkan kebutuhan akan peningkatan infrastruktur, Diskusi Tematik Media tersebut terus menegaskan pentingnya kolaborasi antar pihak pun sangat dibutuhkan. Di kalangan masyarakat, partisipasi bisa dengan cara aktif melakukan penyedotan berkala. Ini, menurut Yudi, adalah cara untuk menyelamatkan generasi kita ke depannya dari bahaya 'stunting' atau gagal tumbuh.

Kabid Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah dari Bappeda Sulsel, Arifin Iskandar.

Lain lagi halnya dengan masalah persampahan di Sulsel. Menurut standar SNI tentang pengelolaan sampah perkotaan, masyarakat wajib dilibatkan dalam prosesnya. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman lapangan Yudi, masyarakat Sulsel terlampau 'dimanja' oleh pemerintah untuk urusan persampahan.

"Kalau teman-teman media menyuarakan ini, maka akan dibaca oleh 24 bupati-walikota, plus 1 gubernur. Mungkin akan ada kebijakan tentang itu," gagas Yudi.

Melihat kondisi 'darurat' persampahan dan air limbah rumah tangga di Sulsel, Bappeda pun berinisiatif memicu kesadaran kabupaten/kota dengan mengadakan ajang Anugerah Saoraja AMPL Award 2018.

"Ketika kita berikan penghargaan, kita berharap maka Bupati/Walikota bisa memberikan perhatian khusus bagi stafnya yang khusus menangani persoalan AMPL ini," papar Kabid Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah dari Bappeda Sulsel, Arifin Iskandar.

Meski secara umum sepakat dengan gagasan SATU SUARA, para awak media menanggapi diskusi ini dengan kritis. Fitri dari RRI, misalnya, mengungkap kecemasannya bahwa ajang lomba ini akan sekadar jadi momentum sesaat saja. Tidak serta merta menghasilkan perubahan perilaku di level masyarakat.

Menjawab kegelisahan ini, Andi Bunga selaku panelis dari UNICEF meyakinkan bahwa indikator penilaian ajang Anugerah Saoraja AMPL punya tuntutan yang tinggi.

"Ini bukan seperti lomba desa yang bisa disulap dalam beberapa bulan," ujar Bunga. "AMPL Award itu kriterianya--kalau pemerintah ingin berubah hanya dalam hitungan bulan itu agak sulit, karena terkait dengan data-data dan pembangunan yang memakan waktu. Misalnya, dalam waktu 4 bulan tidak mungkin tahu-tahu ada IPLT."

Menekankan keterlibatan unsur-unsur non-Pemda, ajang anugerah sanitasi & air minum pertama di Sulsel ini akan turut memberikan penghargaan kepada kelompok masyarakat, lembaga/perusahaan, pemerintah desa, dan perorangan. Dengan tahap penilaian yang sudah dimulai sejak Juli 2018 lalu, ajang Anugerah Saoraja AMPL Award 2018 akan menggelar acara pemberian penghargaan pada November 2018 nanti.


***