Toilet Sekolah Kotor, Siswi Memilih Tidak Masuk Kelas Saat Menstruasi

Pada acara Hari Kebersihan Menstruasi Dunia yang dilaksanakan di Coworking Space, Argo Plaza Kuningan pada 28 Mei 2019 oleh Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) dipaparkan bahwa berdasarkan hasil survey Plan Internasional Indonesia ada sebanyak 33% sekolah yang tidak memiliki toilet terpisah untuk siswa laki-laki dan perempuan.

 

Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah psikis bagi siswi perempuan, seperti malu dan tidak percaya diri, sehigga banyak dari mereka yang akhirnya memilih untuk tidak berangkat sekolah saat mengalami menstruasi.

 

“Sekolah harusnya menyediakan fasilitas sanitasi yang higenis. Air yang bersih dan baik. Seringkali air tidak ada atau kurang, tidak ada kamar mandi/WC khusus siswi, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan siswi jika mengalami menstruasi ketika akan mengganti pembalutnya.” ujar Laisa Wahanudin, Kasubit Sanitasi, Direktorat Perkotaan, Perumahan dan Permukiman Bappenas, selaku Ketua Jejaring AMPL dalam pembukaan acara Menstrual Hygiene Day-Youth Festival 2019.

 

Karena itu, di hari Kebersihan Menstruasi Dunia, yang jatuh pada tanggal 28 mei ini,  Jejaring AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan), melakukan kampanye Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang pentingnya kebersihan menstruasi bagi masyarakat.

 

Disisi lain, dalam acara Talkshow MKM, Gesit Mulyawan, Seksi Kelembagaan Subdit Kelembagaan dan Sarana Prasarana, Direktorat Pembinaan SD, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerangkan memang saat ini sarana toilet di sekolah masih sangat minim.

 

Data profil sanitasi sekolah 2017, direktorat pembinaan sekolah dasar, menujukkan sebanyak 12,09% atau 25.835 sekolah di Indonesia tidak memiliki jamban, kemudian sebanyak 35,19% atau 75.193 sekolah di Indonesia tidak memiliki sarana cuci tangan, dan satu dari dua sekolah di Indonesia tidak memiliki jamban terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan dengan rasio yang tidak sesuai yaitu 1:22 untuk laki-laki dan 1:117 untuk peremuan.  Sementara itu, rasio yang sesuai seharusnya 1:40 untuk laki-laki dan 1:25 untuk perempuan.

 

Berangkat dari itu, Kemedikbud bersama Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat, serta kementerian terkait lainnya saat ini terus melakukan kolaborasi dan upaya bersama untuk peningkatan sarana dan prasarana sanitasi sekolah untuk mendukung pelaksanaan Manajeman Kesehatan Menstruasi di sekolah-sekolah. “Saat ini, MKM sudah masuk dalam Program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah dalam lingkup program sanitasi sekolah,” ujarnya.

 

Sementara, Reza Hendrawan, WASH Specialist UNICEF mengatakan MKM bukan hanya terkait dengan ketersedian jamban/toilet namun juga tentang ketersediaan air bersih dan sarana cuci tangan pakai sabun.  Ketiga hal itu saling berkaitan, sehingga tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.

 

Sebagai salah satu upaya yang dilakukan, UNICEF juga turut melakukan advokasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kondisi sanitasi sekolah. “UNICEF saat ini juga membantu proses pendampingan dan penyusunan strategi sanitasi sekolah kabupaten/kota dan juga membantu Kemendikbud penyusunan pedoman pemerintah daerah untuk sanitasi sekolah,” pungkas Reza.

 

Dengan semua upaya yang dilakukan ini, harapannya pemenuhan akses sanitasi dan air bersih bisa tercapai, sehingga  Manajemen Kebersihan Menstruasi bisa terlaksana dengan baik merata disemua wilayah di Indonesia, terutama di setiap sekolah, sehingga tidak ada lagi siswi yang harus membolos saat mengalami menstruasi.

 

Terlebih secara global, kebersihan dan kesehatan reproduksi tercantum dalam SDGs 2030 pada tujuan 3.7 yaitu ketersediaan akses universal terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi termasuk perencanaan, informasi dan pendidikan keluarga dan mengintegrasikan kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional