Bimtek SSK: Komitmen Kepala Daerah Adalah Kunci
Penulis
Klara Virencia
Klara Virencia
Tanggal Terbit
25 Juni 2019
25 Juni 2019
Organisasi & Jabatan
Jurnalis USDP
Jurnalis USDP
Media Sosial
https://www.facebook.com/Portal-Sanitasi-445585615630317/
https://www.facebook.com/Portal-Sanitasi-445585615630317/
Website
www.usdp.or.id
www.usdp.or.id
Dilihat
1414
1414
#KabarDariPPSP
Dokumen SSK menjadi titik tolak pendampingan implementasi karena peran strategisnya dalam memuat data-data sanitasi eksisting secara komprehensif, sekaligus perencanaan pembangunan sanitasi di suatu daerah per 5 tahun.
Nyatanya, meski sudah sebanyak 489 kabupaten/kota sudah memiliki dokumen SSK, namun laju percepatan pembangunan sanitasi belum sesuai harapan.
"Hambatan yang kita temui adalah SSK belum dijadikan acuan dalam penganggaran, karena masih minimnya komitmen kepala daerah," ujar Direktur Pengembangan PLP Direktorat Jenderal Cipta Karya Dodi Krispratmati, dalam sambutannya pada Senin (24/6) siang.
"Berbekal pengalaman tahun-tahun sebelumnya, komitmen pimpinan akan menjadi kata kunci dalam pendampingan. Dengan komitmen, aspirasi kepala daerah dapat dibentuk menjadi program," tandas Dodi.
Menguatkan pernyataan ini, Kasubdit Sanitasi dari Direktorat Perkotrumkim (Perkotaan, Perumahan, & Permukiman) Laisa Wahanudin pun berpendapat, bahwa tanpa adanya komitmen kepala daerah maka perencanaan yang terangkum di dalam SSK akan menjadi sebatas business as usual alias formalitas belaka.
Secara jangka panjang, komitmen kepala daerah mampu menjamin keberlanjutan pembangunan sanitasi dengan menempatkan sanitasi sebagai skala prioritas. Keberadaan komitmen kepala daerah, Kasie Wilayah 1 Subdit PKP (Perumahan & Kawasan Permukiman) dari Kementerian Dalam Negeri Indra Maulana pun mencontohkan, dapat mendorong diacunya SSK dalam Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
"Mungkin sekarang SSK belum menjadi peraturan, tapi baru proyek. Kalau disinggung di Perkada, [SSK] bisa jadi sebuah peraturan yang diacu," ujar Indra.
Sebagai perwakilan dari Kementerian Kesehatan--kementerian yang selama ini mengemban tugas advokasi di pembangunan sanitasi nasional--Kasie Penyehatan Air & Sanitasi Dasar Kementerian Kesehatan Anita pun memberikan tips untuk mendapatkan komitmen kepala daerah.
"Untuk komitmen kepala daerah, itu bisa didapatkan kalau seluruh OPD mengerti apa yang mau dikomitmenkan ke kepala daerah," jelas Anita. Dengan kata lain, perlu ada persamaan persepsi terlebih dahulu antar OPD. Pasalnya, di berbagai daerah, belum tentu relasi antar OPD akrab dan mesra. "Ada isu-isu yang membuat pola komunikasinya berbeda. Ini yang perlu diidentifikasi oleh fasilitator, dan fasilitator harus bisa bisa mengidentifikasi ini."
Menurut Anita, pola advokasi ke kepala daerah paling efektif jika dilakukan secara bottom-up: awalnya dimulai dari anggota-anggota OPD anggota Pokja, kemudian ke masing-masing kepala dinas, hingga Ketua Pokja. Ketika persepsi Pokja Sanitasi/AMPL/PPAS sebagai sebuah tim sudah solid, barulah advokasi ke kepala daerah dapat bekerja efektif.
Sebagai bahan advokasi, penting pula adanya pemetaan yang akurat akan permasalahan di lapangan. Salah satunya adalah pemetaan teknis, yang mencakup kilasan infrastruktur eksisting dan kebutuhan infrastruktur ke depannya. Selama ini, menurut Kasubdit Perencanaan Teknis dari Direktorat Pengembangan PLP Prasetyo, acap kali infrastruktur terkait sanitasi terbangun tanpa difungsikan secara maksimal.
"Jangan sampai kita bangun [infrastrukturnya], tapi tidak terpakai. Kami punya datanya kenapa itu tidak berfungsi," ujar Prasetyo.
Agar mampu memetakan dan menggerakkan berbagai dimensi dari pembangunan sanitasi inilah, sebanyak 20 orang fasilitator provinsi dari 10 provinsi menerima pembekalan melalui 3 hari sesi Bimtek. Nantinya, bekal pelatihan ini akan dimaksimalkan untuk mendampingi percepatan implementasi di 22 kabupaten/kota dari 10 provinsi terpilih.
Ke-10 provinsi tersebut antara lain: Sumatera Selatan, NTB, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.
Pendampingan implementasi SSK sendiri akan berjalan selama 2 tahun. Di tahun pertama, pendampingan akan berfokus pada mendorong komitmen kepala daerah yang diwujudkan dalam paket kebijakan. Selanjutnya, dilakukan uji coba layanan sanitasi di wilayah terbatas/prioritas. Sedangkan di tahun kedua, fokus pendampingan akan mengarah kepada implementasi layanan sanitasi pada skala yang lebih luas dengan memanfaatkan berbagai pendanaan yang sudah ada.
#ImplementasiSSK
Dokumen SSK menjadi titik tolak pendampingan implementasi karena peran strategisnya dalam memuat data-data sanitasi eksisting secara komprehensif, sekaligus perencanaan pembangunan sanitasi di suatu daerah per 5 tahun.
Nyatanya, meski sudah sebanyak 489 kabupaten/kota sudah memiliki dokumen SSK, namun laju percepatan pembangunan sanitasi belum sesuai harapan.
"Hambatan yang kita temui adalah SSK belum dijadikan acuan dalam penganggaran, karena masih minimnya komitmen kepala daerah," ujar Direktur Pengembangan PLP Direktorat Jenderal Cipta Karya Dodi Krispratmati, dalam sambutannya pada Senin (24/6) siang.
"Berbekal pengalaman tahun-tahun sebelumnya, komitmen pimpinan akan menjadi kata kunci dalam pendampingan. Dengan komitmen, aspirasi kepala daerah dapat dibentuk menjadi program," tandas Dodi.
Menguatkan pernyataan ini, Kasubdit Sanitasi dari Direktorat Perkotrumkim (Perkotaan, Perumahan, & Permukiman) Laisa Wahanudin pun berpendapat, bahwa tanpa adanya komitmen kepala daerah maka perencanaan yang terangkum di dalam SSK akan menjadi sebatas business as usual alias formalitas belaka.
Secara jangka panjang, komitmen kepala daerah mampu menjamin keberlanjutan pembangunan sanitasi dengan menempatkan sanitasi sebagai skala prioritas. Keberadaan komitmen kepala daerah, Kasie Wilayah 1 Subdit PKP (Perumahan & Kawasan Permukiman) dari Kementerian Dalam Negeri Indra Maulana pun mencontohkan, dapat mendorong diacunya SSK dalam Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
"Mungkin sekarang SSK belum menjadi peraturan, tapi baru proyek. Kalau disinggung di Perkada, [SSK] bisa jadi sebuah peraturan yang diacu," ujar Indra.
Sebagai perwakilan dari Kementerian Kesehatan--kementerian yang selama ini mengemban tugas advokasi di pembangunan sanitasi nasional--Kasie Penyehatan Air & Sanitasi Dasar Kementerian Kesehatan Anita pun memberikan tips untuk mendapatkan komitmen kepala daerah.
"Untuk komitmen kepala daerah, itu bisa didapatkan kalau seluruh OPD mengerti apa yang mau dikomitmenkan ke kepala daerah," jelas Anita. Dengan kata lain, perlu ada persamaan persepsi terlebih dahulu antar OPD. Pasalnya, di berbagai daerah, belum tentu relasi antar OPD akrab dan mesra. "Ada isu-isu yang membuat pola komunikasinya berbeda. Ini yang perlu diidentifikasi oleh fasilitator, dan fasilitator harus bisa bisa mengidentifikasi ini."
Menurut Anita, pola advokasi ke kepala daerah paling efektif jika dilakukan secara bottom-up: awalnya dimulai dari anggota-anggota OPD anggota Pokja, kemudian ke masing-masing kepala dinas, hingga Ketua Pokja. Ketika persepsi Pokja Sanitasi/AMPL/PPAS sebagai sebuah tim sudah solid, barulah advokasi ke kepala daerah dapat bekerja efektif.
Sebagai bahan advokasi, penting pula adanya pemetaan yang akurat akan permasalahan di lapangan. Salah satunya adalah pemetaan teknis, yang mencakup kilasan infrastruktur eksisting dan kebutuhan infrastruktur ke depannya. Selama ini, menurut Kasubdit Perencanaan Teknis dari Direktorat Pengembangan PLP Prasetyo, acap kali infrastruktur terkait sanitasi terbangun tanpa difungsikan secara maksimal.
"Jangan sampai kita bangun [infrastrukturnya], tapi tidak terpakai. Kami punya datanya kenapa itu tidak berfungsi," ujar Prasetyo.
Agar mampu memetakan dan menggerakkan berbagai dimensi dari pembangunan sanitasi inilah, sebanyak 20 orang fasilitator provinsi dari 10 provinsi menerima pembekalan melalui 3 hari sesi Bimtek. Nantinya, bekal pelatihan ini akan dimaksimalkan untuk mendampingi percepatan implementasi di 22 kabupaten/kota dari 10 provinsi terpilih.
Ke-10 provinsi tersebut antara lain: Sumatera Selatan, NTB, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.
Pendampingan implementasi SSK sendiri akan berjalan selama 2 tahun. Di tahun pertama, pendampingan akan berfokus pada mendorong komitmen kepala daerah yang diwujudkan dalam paket kebijakan. Selanjutnya, dilakukan uji coba layanan sanitasi di wilayah terbatas/prioritas. Sedangkan di tahun kedua, fokus pendampingan akan mengarah kepada implementasi layanan sanitasi pada skala yang lebih luas dengan memanfaatkan berbagai pendanaan yang sudah ada.
#ImplementasiSSK