Indonesia Menuju Sanitasi Berketahanan Iklim !


5 May 2021
– Peningkatan akses sanitasi aman bagi masyarakat menjadi salah satu agenda utama pemerintah Indonesia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di tahun 2030. Pasalnya, masih banyak daerah perkotaan yang belum memiliki layanan sanitasi yang baik, sehingga berpengaruh pada pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat sehari- hari. Bagi daerah yang sudah memiliki layanan sanitasi yang baik, keberlangsungan dan ketersediaan layanan menjadi tantangan utama bagi masyarakat maupun pemerintah di daerah tersebut.

 

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan layanan  yang ada, salah satunya ialah perubahan iklim yang berpotensi menimbulkan bencana alam seperti banjir dan kekeringan yang dapat menghambat akses layanan sanitasi bagi masyarakat. Selain layanan, infrastruktur sanitasi juga kerap rusak akibat bencana alam yang terjadi.

 

Untuk meninjau lebih jauh korelasi antar perubahan iklim dan dampaknya pada peningkatan akses sanitasi bagi masyarakat perkotaan, Universitas Indonesia bekerja sama dengan University of Technology Sydney melakukan kajian di empat kota di Indonesia, yaitu Bekasi, Makassar, Kabupaten Lombok Timur dan Kota Palu. Hasil kajian tersebut dipaparkan dalam webinar yang dilakukan bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan Unicef Indonesia.

 

Tri Dewi Vrigiyanti selaku Direktur Perumahan dan Permukiman Kementerian PPN turut hadir dan membuka rangkaian acara, beliau menyampaikan bahwa tujuan pertemuan ini untuk mempelajari berbagai bukti pengaruh bahaya perubahan iklim terhadap layanan sanitasi, serta memahami upaya apa yang perlu dilakukan agar masyarakat, penyedia layanan maupun pemerintah dapat beradaptasi pada dampak yang terjadi akibat perubahan iklim. Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa “perlu dilakukan penajaman rekomendasi yang telah ada, menggali opsi kerja sama dan teknologi untuk sanitasi di kemudian hari, serta menyiapkan tools atau perangkat untuk  mengidentifikasi daerah rawan sanitasi dan rawan iklim”

 

Mitzu Odagiri selaku WASH spesialis Unicef turut menyampaikan bahwa “tidak hanya memahami dampak perubahan iklim, namun perlu diidentifikasi siapa yang paling membutuhkan dukungan karena dampak yang dihasilkan, hal ini dapat diatasi dengan kerja sama multi-sektoral dengan para ahli dan penggiat sanitasi dan iklim, kelompok disabilitas dan organisasi pemuda juga perlu dilibatkan karena suara mereka diperlukan dalam penentuan kebijakan” tuturnya.

 

Dr. Cindy Rianti Priadi dari Universitas Indonesia yang melakukan riset di empat kota pilihan turut memaparkan hasil kajian yang dilakukannya bersama University of Technology Sydney. Beliau menuturkan bahwa perubahan iklim memberikan risiko pengurangan atau progres yang berlawanan terhadap pencapaian open defecation free (ODF) dan juga pada akses layanan sanitasi. Selain itu, masyarakat yang berada di dataran rendah, pesisir, dan daerah yang sulit air adalah yang paling terdampak, termasuk perempuan, kaum minoritas serta anak anak.

 

Beliau juga menambahkan bahwa “Resiko kesehatan bertambah akibat kerusakan dan berkurangnya fungsi sepanjang rantai layanan sanitasi yang diperlukan pada layanan sanitasi aman, mulai dari penampungan, penyedotan, pengangkutan, saluran perpipaan air limbah dan instalasi pengolahan” tuturnya.

 

Pemaparan dari Dr. Cindy Rianti Priadi diperkuat dengan paparan dari Jeremy Kohlitz, perwakilan dari Universiry of Technology Sydney yang turut bekerja sama melakukan kajian. Jeremy menyampaikan bahwa lebih dari 50% responden mengalami kesulitan air karena kekeringan atau banjir, muka air laut yang tinggi dan angin kencang juga merusak rumah warga. Masyarakat sering kali tidak dapat menggunakan atau mengakses jamban pribadi akibat beragam bahaya terkait iklim, dampaknya banyak orang termasuk anak anak melakukan praktik buang air besar sembarangan. Rumah tangga dengan sanitasi yang buruk atau orang dengan keterbatasan fisik memiliki tingkat ketidaknyamanan dan kesulitan yang lebih tinggi.

 

Juliet Willetts rekan dari Jeremy Kohlitz, turut memaparkan terkait sistem sanitasi berketahanan iklim, yang dimana terdiri dari 7 elemen utama yaitu perencanaan dan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan risiko dan tingkat kerentanan, pengelolaan kapasitas bagi upaya adaptasi yang berkelanjutan, aksi yang terintegrasi pada siklus air untuk melindungi layanan lingkungan dan kesehatana masyarakat, pelibatan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang kreatif dan berbasis kekuatan, pilihan infrastruktur sanitasi yang kuat dan dapat diperbaiki, pendanaan yang berkelanjutan dan responsif, adanya kejelasan tanggung jawab institusi serta pengelolaan dan pengaturan sistem layanan yang felksible.

 

Rangkaian acara diakhiri dengan diskusi kelompok untuk membahas rekomendasi- rekomendasi pilihan terkait pembiayaan, inklusivitas, teknis, institusi dan sosial. Dari proses diskusi disimpulkan bahwa edukasi sanitasi yang berketahanan iklim kepada masyarakat dan pemerintah perlu dilakukan, serta kerja sama antar pelaku dengan melibatkan semua kalangan dapat ditingkatkan agar sektor sanitasi segera terinternalisasi di kebijakan dan strategi perubahan iklim.