Kredit Mikro Air Minum dan Sanitasi, Solusi Penyediaan Akses Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
Penulis
Pokja PPAS Nasional
Pokja PPAS Nasional
Tanggal Terbit
10 November 2021
10 November 2021
Organisasi & Jabatan
Pokja PPAS Nasional
Pokja PPAS Nasional
Dilihat
898
898
Kamis, 28 Oktober 2021, USAID IUWASH PLUS dan Water.org bersama dengan Kelompok Kerja Perumahan, Permukiman, Air Minum dan Sanitasi (Pokja PPAS) Nasional mengadakan workshop nasional dengan topik "Inisiatif Pendanaan dan Perluasan Pembiayaan Mikro Air Minum dan Sanitasi" yang berlangsung secara hybrid melalui platform zoom meeting dan pertemuan offline di Hotel JW Marriot, Kuningan, Jakarta.
Bukan hanya menghadirkan kementerian/lembaga pemegang kebijakan di sektor air minum dan sanitasi, kegiatan ini juga mengundang para pelaku Lembaga Keuangan Mikro dan juga mitra pembangunan lain untuk saling berbagi pembelajaran dan meneguhkan komitmen untuk perluasan kredit mikro air minum dan sanitasi. Skema pendanaan ini diyakini dapat menjadi salah satu solusi efektif dalam mendorong peningkatan penyediaan akses air minum dan sanitasi layak serta aman kepada masyarakat, terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Seperti diketahui penyediaan akses air minum dan sanitasi aman merupakan hak dasar seluruh masyarakat. Berkaitan dengan itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan terwujudnya 100% akses air minum layak termasuk 15% akses air minum aman, dan 90% akses sanitasi layak termasuk 15% akses sanitasi aman pada tahun 2024. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan pendanaan yang cukup besar yakni sebesar Rp 123,4 T untuk air minum dan Rp 140,3 T untuk sanitasi, dimana kebutuhan ini tentunya tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah saja.
Dalam sambutannya, Fungsional Perencana Utama, Kedeputian Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/Bappenas, Budi Hidayat, menjelaskan bahwa estimasi pendanaan air minum dan sanitasi dari permerintah (APBN, APBD, dan DAK) periode 2020-2024 hanya mencapai Rp 90 T (73%) untuk air minum dan Rp 81 Triliun (56%) untuk sanitasi. "Untuk itu, sumber pendanaan lain seperti anggaran dari Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), Business to Business (B to B), Corporate Social Responsibility (CSR), ZISWAF, dan Kredit Mikro," katanya.
Menurutnya, kredit mikro merupakan salah satu alternatif pendanaan yang memiliki potensi besar. Kredit mikro merupakan pembiayaan yang disediakan oleh lembaga keuangan yang dapat berupa bank umum, modal ventura, koperasi, dan perkreditan rakyat. Sasaran utama mikro kredit ini adalah masyarakat kecil menengah yang belum memiliki akses.
Berdasarkan survei terhadap 11 lembaga keuangan dampingan USAID IUWASH PLUS dan Water.org pada Juli-Agustus 2021, setidaknya ada sekitar 62.600 rumah tangga yang memanfaatkan mikro kredit untuk menyediaan akses air minum dan sanitasi dengan total dana yang disalurkan mencapai Rp 560 miliar.
Brian Dusza, Direktur Kantor Lingkungan Hidup, USAID Indonesia, mengatakan bukan hanya diharapkan mampu meningkatkan kemampuan masyarakat, khususnya para kelompok rentan untuk dapat memiliki akses, kredit mikro juga diharapkan dapat menjadi solusi utama terkait keterbatasan pendanaan untuk pembangunan akses air minum dan sanitasi.
"Berangkat dari itu, maka dibutuhkan dukungan kebijakan nasional yang dapat mempermudah implementasi di lapangan. Terkait ini, Pemerintah bersama USAID IUWASH PLUS dan Water.org telah menyusun policy paper yang berisi rekomendasi kebijakan pendanaan, pembiayaan, serta kebijakan pendukung lainnya," jelas Brian.
Menurut Brian, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapat dukungan dari para pengambil kebijakan untuk memperluas implementasi pendanaan mikro kredit. "Selain itu kegiatan ini juga dilakukan untuk meningkatkan kolaborasi antar semua pihak terkait, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga lembaga keuangan mikro," tambahnya.
Di sisi lain, pada sesi diskusi, Direktur Perumahan dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti menjelaskan bahwa di tengah adanya keterbatasan kemampuan dalam penyediaan akses baik dari pemerintah ataupun masyarakat sendiri, terutama masyarakat yang masuk golongan B-40, adanya dukungan kredit mikro ini tentunya bisa jadikan solusi efektif. Melalui kredit mikro mereka bisa memiliki akses dengan cara mencicil sesuai kemampuan masing-masing.
Menurut Virgi, berdsarkan data yang ada saat ini 4,1 juta rumah tangga kategori B-40 yang belum memiliki akses air minum layak dan 5,4 juta yang belum memiliki akses sanitasi layak. "Jumlah ini tentunya masih sangat tinggi, oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari semua pihak terkait untuk mencapai akses air minum dan sanitasi sesuai amanat target RPJMN," ujarnya.
Terkait dengan dukungan pendanaan, Kasubdit Investasi Pemda/BUMD, Direktorat Sistem Manajemen Investasi, Kementerian Keuangan, Iman Widhi mengatakan pihaknya sangat mendukung keberadaan insiatif kredit mikro untuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi. Komitmen dari Kementerian Keuangan adalah menyediakan fasilitasi terhadap penurunan suku bunga menjadi lebih rendah dari yang ada saat ini, dimana hal tersebut masih menjadi tantangan dalam pendanaan kredit mikro. "Kami akan berupaya untuk bisa menurunkan return di bawah harga pasar, sehingga makin banyak masyarakat yang bisa menikmati layanan kredit mikro dan memiliki akses air minum dan sanitasi yang baik," jelasnya.
Kemudian, pada forum yang sama Asisten Deputi Pengembangan dan Pembaruan Perkoperasian, Kementerian Koperasi dan UKM, Bagus Rachman, mengatakan bahwa keberadaan pembiayaan mikro ini sangat penting karena mampu mendukung penyediaan akses layanan dasar masyarakat dan ini juga termasuk tanggung jawab koperasi dalam mendukung pencapaian target RPJMN dan SDGs.
"Saat ini sudah banyak koperasi yang menyediakan pembiayaan mikro untuk air minum dan sanitasi. Harapannya ini bisa menjadi role model bagi koperasi lainnya untuk sama-sama mendukung penyediaan akses air minum dan sanitasi bagi masyarakat," ungkapnya.
Pengawas PNM OJK, Herbert Salomo, mengatakan bahwa pembiayaan air minum dan sanitasi ini bukan market oriented, terlebih masih ada gap untuk MBR untuk memiliki akses ini, dan gap inilah yang perlu dicarikan solusinya bersama. Misalnya pemerintah memfasilitasi penyedian suku bunga agar bisa lebih rendah, sehingga semakin bisa diakses oleh makin banyak masyarakat.