Permukiman Padat Penduduk Sangat Rawan Penyebaran COVID-19
CCMU
14 Juli 2020
CCMU
8871
Dari Webinar Urgensi Penanganan Permukiman Padat Penduduk Menghadapi Pandemi COVID-19 Kementerian PPN/Bappenas bersama The HUD Institute
Jakarta, 20 Juli 2020.-
Masyarakat yang tinggal di rumah tidak layak huni, terutama di lingkungan padat penduduk dan kumuh, sangat rentan tertular dan menularkan penyakit, termasuk COVID-19. Di permukiman padat penduduk sulit melakukan prinsip 3M dalam pencegahan COVID-19, yaitu menjaga jarak, mencuci tangan, mengenakan masker. Jaga jarak atau physical distancing sulit dilakukan karena penduduknya sangat padat. Sering mencuci tangan dengan sabun juga tidak mudah karena biasanya di permukiman kumuh fasilitas dasar air bersih dan sanitasi juga kurang. Bagi masyarakat miskin, membeli masker sering bukan prioritas.
Pandu juga menegaskan, COVID-19 adalah penyakit yang risiko penularan tertingginya pada mobilitas manusia, bukan pada padatnya hunian. “Kalau terjadi kasus positif COVID-19 di permukiman padat penduduk, contact tracing-nya menjadi berat. Terbayang satu penderita melakukan kontak dengan berapa banyak orang kalau dia tinggal di kawasan padat peduduk,” ujar dr Pandu Riono, MPH, PhD, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dokter Pandu menjadi salah satu narasumber dalam webinar bertajuk Urgensi Penanganan Permukiman Padat Penduduk Menghadapi Pandemi COVID-19 yang digelar Kamis, 9 Juli 2020.
Senada dengan Pandu, Direktur Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti juga mengungkapkan, masyarakat permukiman padat penduduk, sulit untuk bekerja tanpa keluar rumah. “Mayoritas pekerja sektor informal yang tidak memungkinkan mereka bekerja dari rumah dan tidak memiliki financial buffer,” ujar Virgiyanti dalam sambutan pengantar webinar. Akibat tetap harus keluar rumah, mereka sangat berisiko tertular dan menularkan virus tersebut dengan berinteraksi fisik dengan banyak orang.
Selain terpaksa tidak dapat tinggal di rumah selama pandemi, banyak juga masyarakat yang tidak mematuhi imbauan untuk mengikuti protokol pencegahan COVID-19. “Dari penelitian kami di permukiman padat penduduk di Jakarta, tampak jelas ada masalah persepsi risiko oleh masyarakat,” ungkap Elisa Sutanudjaja, Executive Director RUJAK Centre. Penelitian RUJAK Center menunjukkan 54% responden menyatakan kecil kemungkinan mereka tertular COVID-19, 54% kecil kemungkinan orang paling dekatnya tertular, dan 42% kecil kemungkinan lingkungan tempat tinggal mereka terjangkit. “Lalu 94% responden menjawab tidak ada satu pun orang yang mereka kenal terkena COVID-19. Dari situ mereka mempunyai persepsi bahwa COVID-19 ini bukan ancaman bagi mereka,” ujarnya.
Meskipun demikian, masyarakat di permukiman padat penduduk juga memiliki modal sosial yang kuat dalam pencegahan penyebaran COVID-19. Contohnya adalah kampung-kampung memberlakukan lockdown lokal, memperketat lalu lintas manusia keluar masuk wilayah mereka. Selain itu, mereka juga saling membantu bila ada warga yang terdampak COVID-19. Tentang keunggulan modal sosial ini, selain dikemukakan oleh Elisa, juga dijadikan sorotan oleh Suharti, Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Kependudukan dan Kawasan Permukiman, Pemprov DKI Jakarta dan Dodo Julliman, Praktisi Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang juga tampil dalam webinar.
Pemprov DKI Jakarta menyadari persoalan pandemi ini paling memukul masyarakat berpenghasilan rendah, terutama yang bekerja di sektor informal. Pihaknya mencatat terdapat 2,4 juta keluarga miskin terdampak. “Angka tersebut adalah warga yang memang sudah miskin sebelum pandemi, ditambah warga miskin baru sebagai dampak pandemi, misalnya yang kehilangan penghasilan dan terkena PHK, ungkap Suharti. Jakarta sebagai tempat mencari nafkah bukan saja bagi warga DKI melainkan juga warga kawasan Jabodetabek, memang paling rentan terjadi penyebaran COVID-19.
Menurut Dodo Julliman, pemberdayaan masyakat dalam situasi pandemi COVID-19 harus meningkatkan kemampuan warga dalam mengurus dirinya sendiri, tidak berharap dari pemerintah, swasta atau pihak lain. Basisnya 3 kemampuan: 1) Keorganisasian dan membentuk pranata untuk melakukan self-help maupun kolaborasi dengan orang lain: 2) informasi yang jelas dan detil bagi warga terkait apa pun yang terjadi di masyarakat. 3) Resource management, terkait dengan sumber daya yang ada di kawasan tersebut, baik terkait potensi yang dapat dimanfaatkan seperti nilai rumah, nilai ekonomi, maupun potensi yang merugikan seperti banjir, kurangan fasilitasi sanitasi, kesulitan mendapatkan pekerjaan. “Dalam konteks pandemi, masyarakat harus dipahamkan tentang penyakitnya itu sendiri, bagaimana pencegahannya, penanganan kalau ada kasus, apa yang harus dilakukan, dan seterusnya,” tegas Dodo.
Sementara itu Didiet Achdiat, Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Kementerian PUPR lebih menyoroti tentang dampak COVID-19 terhadap upaya pemerintah melakukan pemberantasan kawasan kumuh melalui program KOTAKU. Sejak sebelum pandemi COVID-19, Program KOTAKU menganggarkan 20-30% pembiayaan program dari swadaya masyarakat. “Tetapi setelah terjadi pandemi, KOTAKU semaksimum mungkin mengganti kerja mekanik menjadi padat karya supaya masyarakat setempat juga memperoleh pendapatan dari program,” jelasnya.
Lantas bagaimana mengatasi risiko pandemi COVID-19 dengan meningkatkan kualitas permukiman? Menurut Yu Sing, Arsitek dan penggagas berbagai desain rumah terjangkau, kesalahan terbesar kita selama ini adalah mengatasi kawasan kumuh dengan memperbaiki fisik bangunan dan infrastrukturnya saja. Sedangkan pemberdayaan ekonomi warganya tidak ditangani. “Percuma kalau masyarakatnya tidak mendapatkan peningkatan perekonomian. Nanti kawasannya jadi kumuh lagi,” tegasnya.
Karena itu Yu Sing menegaskan kembali pentingnya melakukan perbaikan kawasan padat penduduk dengan desain hunian yang memaksimumkan fungsi lahan, lebih tertata, lebih besar daya tampungnya, tetapi dengan tambahan fasilitas yang memungkinkan warga penghuninya mendapatkan keuntungan ekonomi. Contohnya adalah rumah susun dengan lahan terbatas, yang menyediakan tempat usaha di lantai bawah. “Di negara-negara maju mulai dibangun vertical kampong, kampung vertikal. Jangan sampai budaya kampung kita mereka yang klaim,” cetusnya. Kampung vertikal yang dimaksud adalah berupa hunian susun tetapi tetap mengakomodir pola sosial budaya masyarakat kampung.
Pada akhirnya rumah layak huni tidak terlepas dari persyaratan Kesehatan, misalnya sirkulasi udara dan paparan cahaya matahari yang maksimum. Sebab, sirkulasi udara dan cahaya matahari adalah pembunuh virus dan kuman yang paling efektif, termasuk COVID-19. “Saya usul kepada para arsitek atau siapa pun yang menangani perumahan, buatlah desain atap yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalam rumah