Potensi Self Supply Untuk Memperkuat Ketahanan dan Keamanan Air Minum
Penulis
Pokja PPAS Nasional
Pokja PPAS Nasional
Tanggal Terbit
04 September 2021
04 September 2021
Organisasi & Jabatan
Pokja PPAS Nasional
Pokja PPAS Nasional
Dilihat
890
890
Ajang World Water Week 2021 yang diadakan pada 23 – 27 Agustus 2021 lalu, menampilkan sejumlah grup diskusi dengan beragam tema mengenai pemenuhan akses air minum dan sanitasi, serta sejumlah isu lingkungan lainnya. Salah satu diskusi menarik di acara tersebut ialah mengenai potensi self supply dalam meningkatkan ketahanan dan keamanan air.
Diadakan pada Senin, 23 Agustus 2021, dengan judul “Self Supply Potential for Increased resilience and water security”, diskusi yang melibatkan sejumlah praktisi dari berbagai negara tersebut membahas lebih jauh seperti apa potensi self supply untuk dapat mengatasi persoalan air minum, terutama terkait dengan pasokan air yang tidak memadai.
Dr. Sally Sutton, pakar sekaligus penerbit buku “Self-Supply: Filling the gaps in public water supply provision” yang juga hadir dalam kegiatan tersebut, menjelaskan secara singkat apa itu self Supply.
“Ini pada dasarnya membiayai sendiri penyediaan layanan apa pun, seperti listrik, sanitasi dan air minum. Orang-orang menyediakan pasokannya secara mandiri dan itu cenderung terjadi dalam tahapan kecil karena dilakukan dengan kemampuan mereka sendiri,” jelas Sally.
Menurut Sally, ada beberapa hal yang melandasi seseorang secara sukarela melakukan self supply dalam pemenuhan kebutuhan mendasarnya.
“Begitu banyak orang yang tidak memiliki sumber alternatif, sehingga mereka biasanya dengan sukarela akan menyediakan kebutuhan pokok tersebut secara mandiri. Selain itu, yang menjadi alasan lain untuk melakukan self supply ialah kenyamanan," tambah Sally.
Gerakan self supply sendiri nampaknya memang sudah dilakukan oleh masyarakat di beberapa negara. Menurut analis UTS, Tim Foster, self supply ini ada di seluruh Asia dan Pasifik. Ia menyebutkan, tingkat self supply di masing-masing negara bervariasi, dari yang memiliki pasokan layanan, hingga tidak ada sama sekali, sehingga hampir semua penduduknya mempraktikkan self supply.
“Sekitar 90 persen rumah tangga yang melakukan self supply dalam satu wilayah dapat ditemukan di 5 negara seperti India, Pakistan, Bangladesh, Indonesia dan Vietnam,” terang Tim
Hasil survey selanjutnya, juga menemukan bahwa self supply secara umum banyak ditemukan di daerah pedesaan daripada perkotaan.
“Kami memperkirakan sekitar 38 persen rumah tangga di daerah pedesaan memasok sendiri air minum mereka dibandingkan di wilayah perkotaan yang hanya sebesar 21 persen. Tetapi, ada pengecualian dengan negara-negara seperti Afghanistan dan Papua Nugini, di mana self supply lebih umum dilakukan di daerah perkotaan daripada daerah pedesaan,” ungkap Tim.
Sementara itu, perwakilan dari Yayasan SKAT, Matthias Saladin, membagikan hasil dokumentasinya di Thailand untuk mengetahui kondisi self supply di sana dan bagaimana peran penting dari pemerintah.
“Kami mendokumentasikan pengalaman Thailand karena disana self supply menjadi opsi penyediaan air minum yang utama bagi puluhan juta orang. Salah satu faktor yang disoroti adalah keterlibatan pemerintah,” kata Matthias.
Menurutnya, ada dua aspek ketika menyoroti keterlibatan pemerintah. Pertama adalah pengaturan kebijakan dan kedua adalah peningkatan kapasitas. Untuk pengaturan kebijakan, menurut Matthias, Thailand perlu memiliki kebijakan yang jelas, sederhana dengan jangka waktu yang lama. “Hal tersebut perlu dilakukan agar semua pelaku di bidang tersebut dapat menyelaraskan dengan kebijakan yang ada,” jelasnya.
Sementara terkait dengan peningkatan kapasitas, Matthias melihat bahwa inisiatif mempromosikan penampungan air hujan yang dimulai pada tahun-80 an merupakan suatu potensi yang dapat ditingkatkan.
Pembiayaan Mikro Untuk Self Supply Air Minum
Dari segi pembiayaan, perwakilan Water Aid, Tara Bartnik berbagi informasi mengenai pinjaman keuangan mikro yang dilakukan di Bangladesh. Menurutnya, ada lebih dari 10 juta rumah tangga yang diperkirakan memiliki sumur pompa yang merupakan salah satu investasi rumah tangga untuk air minum. "Selain dimanfaatkan untuk pembangunan sarana, pinjaman mikro di Bangladesh juga dimanfaatkan untuk meningkatkan infrastruktur air minum dan sanitasi, sehingga bisa menghasilkan pendapatan tambahan," jelas Tara.
Senada dengan Tara, perwakilan Water Org, Abu Aslam juga menyoroti kaitan kredit mikro untuk pasokan air minum di Bangladesh. “Keuangan mikro memainkan peranan penting dalam rumah tangga untuk dapat mempertahankan pasokan air,” ucap Abu.
Menurut Abu, kegiatan pembiayaan untuk pasokan air minum ini sudah sejak lama dilakukan dan memberikan dampak positif bagi banyak orang di Bangladesh.
“Kami telah melengkapi skala pembiayaan pasokan air minum melalui pendekatan terpadu. Program kredit air minum yang berjalan sejak 2015, telah mampu memberikan dampak positif bagi 5 juta orang di Bangladesh. Kami telah memobilisasi USD266.24 juta dan pinjaman rata-rata adalah USD320, dengan tingkat pengembalian kredit hingga mencapai 98 persen,” jelas Abu.
Abu menyampaikan, penerima utama program ini adalah rumah tangga miskin, di mana 90 persen dari anggota program tersebut tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun lalu, bahkan selama resesi Covid-19, tingkat pertumbuhan program kredit air minum luar biasa dalam memberikan solusi krisis air melalui model swasembada.
Ketahanan dan Keamanan Air di Indonesia
Sementara itu, Cindy Priadi dari Universitas Indonesia menyampaikan telah melakukan penelitian tentang bagaimana self supply ini memainkan peranan penting dalam pemenuhan akses air minum, di mana sebagian besar berada di wilayah perkotaan Indonesia.
“Sekitar 80 juta penduduk perkotaan bergantung pada sumur pribadi, dan lebih dari dua kali lipat jumlah orang yang mengandalkan sambungan pipa, Ungkap Cindy.
Terkait hal tersebut, Koordinator Bidang Air Minum dan Sanitasi, Direktorat Perumahan dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas, Nur Aisyah Nasution menyampaikan, meningkatkan akses air yang dikelola dengan aman adalah salah satu prioritas pembangunan utama untuk Bappenas dan pemerintah Indonesia. Selain itu, hal ini juga merupakan bagian dari komitmen SDGs 2030.
“Kendati begitu, sayangnya kontribusi air perpipaan baru mencapai 20 persen, dan capaian akses air minum layak sebesar 90 persen, sehingga air pipa hanya mencakup 15 juta orang di Indonesia, " jelas Aisyah.
Menurut Aisyah, kualitas air minum yang buruk memang masih menjadi tantangan yang terus menerus dihadapi. Terlebih sebagian besar sistem di Indonesia adalah non perpipaan.
“ Untuk mengatasi tantangan yang ada dan mencapai target yang telah ditetapkan, pemerintah juga sudah memiliki beberapa inisiatif, seperti mengembangkan peta jalan untuk zona air minum aman, mengurangi tingkat NRW, pabrik aman air, hingga melakukan Pengawasan Kualitas Air Minum (PKAM),” pungkas Aisyah menutup paparannya.