Public Speaking dan Pengelolaan Event untuk mengangkat isu-isu strategis sektor PKP
CCMU
29 Januari 2021
CCMU
www.nawasis.org
2701
Jakarta, 23 November 2020.-
Indonesia memiliki target besar 70% rumah tangga tinggal di rumah layak huni pada 2024, mencapai kota tanpa permukiman kumuh pada 2025, dan 100% akses air minum dan sanitasi pada 2030. Target-target tersebut harus menjadi target semua stakeholder, baik pemerintah pusat maupun daerah, dan harus diketahui oleh masyarakat luas. “Semua harus sepakat dan berkomitmen untuk bersama-sama mencapai target-target tersebut,” tegas Direktur Perumahan dan Permukiman Bappenas Tri Dewi Virgiyanti dalam sambutan pengarahan pelatihan public speaking dan pengelolaan event yang diadakan pada Rabu, 18 November lalu.
Menurutnya, angka-angkat tersebut tidak akan sampai kepada semua pihak apabila tidak ada strategi komunikasi yang tepat. “Mengkomunikasikan target-target tersebut tidak mudah. Harus diterjemahkan menjadi program, kegiatan, pembagian peran, kontribusi resources, dan sebagainya,” tegasnya. Untuk itu, tambahnya, Pokja PPAS / PKP diharapkan mempunyai pengetahuan dan skill untuk melakukan promosi dan advokasi kepada pengambil keputusan dan masyarakat.
Supaya upaya advokasi dan promosi sukses, menurut praktisi komunikasi Shahnaz Haque, yang harus selalu dipegang adalah prinsip “connection before correction”, yaitu membangun hubungan terlebih dahulu dengan sasaran sebelum menyampaikan ide. “Kalau koneksi atau hubungan tidak dibangun terlebih dahulu, bagaimana mungkin isi pesan kita diterima oleh mereka?” tegas Shahnaz yang menjadi salah satu narasumber pelatihan tersebut.
Di hadapan puluhan peserta yang berada di studio maupun yang mengikuti melalui aplikasi zoom meeting, berkali-kali Shahnaz menegaskan pentingnya mendahulukan menjalin keterikatan sebelum menyampaikan keinginan kita. Pembawa acara televisi maupun radio itu mencontohkan, saat melaksanakan tugas wawancara, dirinya harus melepaskan statusnya dan berubah menjadi orang yang ingin tahu tentang orang yang diwawancarai. Dengan cara ini, mereka bersedia berbicara jujur dan terbuka.
Tak kalah penting adalah menggunakan bahasa dan istilah yang mudah dipahami oleh lawan bicara atau khalayak. Shahnaz menggunakan perumpamaan membuka pintu kaca yang ada tulisan “tarik” dan “dorong”, yang menurutnya lebih mudah membuka dengan mendorong, karena dapat dilakukan dengan banyak cara, baik dengan tangan, bahu, kaki, punggug dan sebagainya. Energi yang dibutuhkan juga lebih kecil. Sedangkan untuk menarik, hanya dapat menggunakan tangan, dan energi yang dibutuhkan lebih besar. “Dalam komunikasi juga begitu. Lebih mudah kita yang mendorong diri kita masuk, atau memahami lawan bicara kita, daripada kita menarik, atau berusaha membuat lawan bicara memahami kita,” urainya.
Para peserta yang berasal dari kementerian, pemerintah daerah dan pihak-pihak lain yang mengurusi pembangunan bidang air minum dan sanitasi dan perumahan permukiman, selalu melakukan kegiatan komunikasi dengan berbagai pihak. Di tempat kerja, mereka harus berkomunikasi dengan atasan dan kolega. Di luar tempat kerja mereka harus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pihak-pihak lain. Juga dengan media massa. Saat pelaksanaan program, mereka juga banyak berkomunikasi dengan masyarakat. “Itu semua membutuhkan keterampilan public speaking,” kata Shahnaz.
Public speaking merupakan kegiatan komunikasi yang dilakukan di hadapan sekelompok orang atau khalayak ramai. “Bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga untuk memengaruhi dan mengarahkan sikap dan perilaku khalayak, dan untuk mengarahkan khalayak agar mau terlibat, berpartisipasi dan berkontribusi,” paparnya. Skill public speaking ini akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi, mengadvokasi, berpromosi, bersosialisasi, dan memfasilitasi.
Shahnaz juga membagikan tips latihan berbicara di depan publik. Menurutnya, dibandingkan dengan berlatih di depan cermin, lebih efektif berlatih dengan kamera. “Manfaatkan kamera ponsel saja. Latihan sambil direkam. Nanti hasil rekaman dapat diputar ulang untuk evaluasi,” jelasnya. Selain itu, sangat penting membaca respon orang di sekitar. Seorang pembicara harus peka membaca ekspresi orang yang mengikuti pembicaraannya, apakah mereka tampak tertarik atau tidak menyimak karena bosan.
Supaya pembicaraan tidak membosankan, seorang pembicara dapat menggunakan prinsip SSJAP, kependekan dari Senyum, Semangat, Jeda, Artikulasi, Penekanan. Saat tersenyum sambil berbicara, suara kita akan berubah menjadi lebih ramah dan hangat. Seorang pembicara juga harus menjaga semangat dan antusiasme karena akan menular kepada khalayak. Meskipun demikian, jangan lupa memberikan jeda saat berbicara. “Artikulasi juga harus bagus. Kata-kata yang kita ucapkan harus jelas. Penting juga memberikan penekanan dalam intonasi bicara kita agar tidak membosankan,” ujarnya.
Narasumber berikutnya, Seno Adhi Damono, mengajarkan cara sukses menyelenggarakan event secara daring (online) yang makin sering digunakan dan berkembang selama terjadi pandemi. “Keberhasilan event itu ditentukan 80% di perencanaan, dan hanya 20% di pelaksanaan,” tegasnya. Tahap perencanaan itu meliputi antara lain menetapkan tujuan event, melakukan analisis target market atau khalayak, menentukan waktu dan durasi, melakukan publikasi pra-event, dan memilih pengisi acara.
Dalam event daring, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kualitas audio, kualitas visual, dan kualitas koneksi internet. Ketiga hal tersebut mutlak dimiliki oleh pihak penyelenggara sebagai central operation atau pusat pengendali event. Untuk mendapatkan kualitas suara yang bagus, penyelenggara harus menyediakan perangkat audio yang tepat. Perlu juga mengingat perangkat audio yang digunakan oleh peserta, yang hampir 50% memanfaatkan mikrofon dan headset yang terpasang di komputer. Sebagian lagi sudah menggunakan mikrofon USB, dan sebagian kecil lagi menggunakan mikrofon profesional. Sedangkan untuk mendapatkan visual, penyelenggara perlu menggunakan kamera yang berkualitas juga. Kualitas audio dan visual tidak akan ada artinya bila koneksi internet tidak berkualitas. Untuk pedoman, penyelenggara perlu menyediakan koneksi internet dengan kecepatan setidaknya 80 hingga 100 mbps.
Di luar masalah teknis, Seno yang merupakan CEO On-Us Asia dan PT Energi Kreati Dinamika itu juga menyoroti masalah etika pertemuan daring. “Pada dasarnya, seperti halnya meeting biasa secara tatap muka, mengikuti meeting online juga harus mengikuti etika tertentu,” tegasnya. Contohnya, selama ada yang berbicara, peserta yang lain harus mematikan mikrofon. Acara dapat terganggu oleh suara-suara yang tidak perlu dan tidak relevan, misalnya suara anak-anak atau suara-suara lain dari sekitar. Pihak host juga jangan lalai untuk selalu memastikan mikofon peserta di-mute pada saat tidak diperlukan.
Demikian juga secara visual, peserta dan terutama pengisi acara harus memastikan latar belakang badannya yang menghadap kamera tampak profesional. “Pernah terjadi, seorang pejabat sedang berbicara di meeting resmi, di belakang kita malah terpasang foto keluarga. Atau ada orang mondar-mandir di belakangnya,” katanya.
Peserta juga harus menghargai pembicara atau peserta lain dengan cara menunjukkan bahwa dirinya tetap menyimak. Mematikan kamera lalu meninggalkan acara tanpa izin untuk keperluan sangat mendesak termasuk tdak mematuhi etika. “Jangan sampai pembicara atau pengisi acara hanya menatap bidang kosong, hanya nama yang tidak ada orangnya. Lalu kami ini berbicara kepada siapa?” ujarnya.
Karena itu, bila menyelenggarakan kegiatan daring, pihak penyelengara sebaiknya menyampaikan tata tertib harus diikuti oleh peserta. “Manfaatkan waktu tunggu sebelum acara dimulai untuk menyampaikan tata tertib,” tegas Seno.