Laporan/Prosiding

Kinerja Jawa Timur Mengimplementasikan Ayat-Ayat Pengendalian Ruang Di Daerah Aliran Sungai Brantas

Adjie Pamungkas, a_pamungkas2000@yahoo.com   29 Mei 2009 774

 

Pengendalian ruang merupakan tindakan lanjut dari proses perencanaan dan pemanfaatan ruang.

Dengan dikeluarkannya UU penataan ruang yang baru no. 26 tahun 2007, kegiatan pengendalian ruang

memiliki perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan UU yang lama. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa

Timur juga telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 61 tahun 2006 sebagai regulasi lanjut dalam

pengendalian ruang di kawasan pengendalian ketat (high control zone). Salah satu dari sembilan kawasan

pengendalian ketat adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). Dilain pihak, pengelolaan DAS Brantas telah

dilembagakan di bawah Perum Jasa Tirta I (PJT I), namun otoritas lembaga ini relatif lemah dalam menangani

komprehensifitas permasalahan yang ada. Permasalahan-permasalahan yang terjadi baik di wilayah hulu DAS

(seperti penebangan hutan secara liar dan budidaya pertanian non-konservasi), maupun di daerah pengaliran

dan hilir DAS (polusi dari industri/rumah tangga dan gangguan penyerapan air akibat ekspansi pemukiman dan

kawasan industri), mengindikasikan bahwa pola pemanfaatan ruang DAS Brantas belum dikelola secara

menyeluruh serta belum menerapkan pengendalian dan pengawasan ruang secara terintegrasi. Oleh karena itu,

penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana kinerja Pemerintah Jawa Timur dalam mengendalikan

ruang DAS Brantas sebagai salah satu wilayah pengendalian ketatnya. Berdasarkan hasil temuan studi, tingkat

kesiapan pemerintah (governance) dalam pengendalian ruang ini masih banyak yang memiliki kinerja sedang

dan buruk. Walaupun demikian, kinerja baik ada pada keterwakilan stakeholders, koordinasi, kelengkapan

peraturan dan fleksibilitas. Untuk kinerja pengendalian yang masih buruk terdapat pada transparansi,

proporsionalitas antara kewenangan dengan tupoksi dan kejelasan tupoksi. Jika membandingkan berdasarkan

lokasi, kinerja paling buruk berada pada daerah tengah DAS Brantas dengan 9 variabel berkinerja buruk dan 8

variabel berkinerja sedang dari 22 variabel yang dipertimbangkan. Sedangkan daerah hilir DAS Brantas

memiliki kesiapan yang relatif lebih baik dibandingkan kedua daerah lainnya dengan 3 variabel berkinerja

buruk dan 9 variabel berkinerja sedang dari 22 variabel.

Fungsi Hukum untuk Peningkatan Keberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Fungsi Lingkungan Pesisir

Mella Ismelina FR, mellarahayu@yahoo.com   29 Mei 2009 873

 

Wilayah pesisir dan lautan merupakan wilayah yang penting karena memiliki keanekaragaman

sumberdaya alam yang sangat banyak. Namun disisi lain, permasalahan menurunnya tingkat kesejahteraan

masyarakat setempat dan semakin rendahnya kualitas lingkungan dan sumber daya alam merupakan

permasalah pokok yang terjadi di wilayah pesisir. Mengingat hal tersebut, pemberdayaan masyarakat

merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan dalam upaya pelestarian fungsi lingkungan pesisir. Upaya

tersebut telah dilakukan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat secara swadaya, namun ternyata

pelaksanaannya kurang maksimal dan efektif. Selain itu, fungsi hukum sebagai penunjang pembangunan masih

belum tampak jelas hasilnya, khususnya dalam memberdayakan masyarakat pesisir dalam melestarikan fungsi

lingkungannnya karena kondisi sekarang yang terjadi adalah masyarakat tidak berdaya dalam mengelola

lingkungan pesisir secara berkelanjutan.

Laporan Tahunan 2008 Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

Th. 764

Dalam laporan tahunan Pokja AMPL 2008 ini terangkum semua aktifitas dan kegiatan Pokja AMPL selama tahun 2008 yang terfokus pada kegiatan operasionalisasi kebijakan nasional AMPL berbasis masyarakat (BM), yang meliputi koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional, kampanye public dan peningkatan kapasitas para pelaku pembangunan bidang AMPL.

Daftar Isi:

Daftar Isi, Tabel, Gambar dan Lampiran

Kata Pengantar

1. Pendahuluan

2. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat Pokja AMPL
2.1 Administrasi
2.2 Pusat Informasi AMPL
2.3 Produk Komunikasi [Pokja AMPL]

3. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pokja AMPL
3.1 Koordinasi dan Operasionalisasi Kebijakan Nasional AMPL-BM
3.2 Dukungan terhadap Program dan Proyek AMPL
3.3 Peningkatan Kapasitas Daerah
3.4 Advokasi dan Sosialisasi
3.5 Program Kerjasama Bappenas-Plan Indonesia
3.6 Jejaring AMPL

4. Evaluasi, Kendala dan Rekomendasi
4.1 Evaluasi dan Rekomendasi
4.2 Rekomendasi
 

Pilihan Media Komunikasi: Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS) di Indonesia

TH. 779

Pilihan media komunikasi digunakan sebagai alat pendukung proses implementasi terhadap rencana pemasaran sanitasi yang disusun berdasarkan karakteristik setempat. Kegiatan komunikasi merupakan bagian dari proses pemasaran sanitasi di samping aktivitas penguatan supply, peningkatan kapasitas komponen masyarakat desa dan lingkungan yang mendukung kesinambungan pengembangan pasar sanitasi pedesaan.
 
Di dalam pilihan media komunikasi ini terdapat berbagai jenis materi komunikasi yang dapat dipilih dan disesuaikan dengan tujuan komunikasi yang ingin dicapai.
 
Aktifitas komunikasi di dalam pilihan media komunikasi terbagi atas 3 (tiga) rute yang dibedakan berdasarkan pelaksana, target audience dan tujuan komunikasi yang ingin dicapai.

Daftar Isi:

Bagian 1. Latar Belakang

Bagian 2. Alur Strategi Komunikasi

Bagian 3. Deskripsi Materi Komunikasi

Bagian 4. Rencana Pelaksanaan dan Pembiayaan

Lampiran 1. CD Materi Komunikasi (Iklan Radio)
Lampiran 2. CD Materi Komunikasi (Video Presentasi - VCD)
Lampiran 3. Naskah Sandiwara Sekolah
Lampiran 4. Permainan
Lampiran 5. CD Materi Komunikasi (Poster, Iklan Cetak, Kalender dan Periklanan)

 

Rencana Strategis Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat (AMPL-BM) Kabupaten Rembang 2009-2014

Th. 810

Kondisi pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan saat ini masih sangat kurang atau rendah baik dalam lingkup nasional maupun di kabupaten Rembang. Hal ini dikarenakan bidang air minum dan penyehatan lingkungan “belum menjadi prioritas” bagi pemerintah daerah. Hal ini tergambarkan pada alokasi dana yang sangat minim yaitu kurang dari 3% APBN/ APBD.
 
Tujuan penyusunan rencana strategis pembangunan AMPL-BM Kabupaten Rembang adalah memperkuat kemampuan Pemerintah Daerah untuk berfikir dan bertindak strategis dalam mengelola AMPL berbasis masyarakat. Sedangkan maksud dari penyusunan rencana strategis ini adalah agar Pemerintah Kabupaten Rembang mempunyai arah acuan secara strategis dalam melaksanakan pembangunan dan pengelolaan AMPL-BM.
 
Sistematika penulisan renstra AMPL-BM Kabupaten Rembang adalah 1) pendahuluan, yang berisi tentang penjelasan latar belakang, tujuan dan manfaat identifikasi pelaku, klarifikasi mandat serta metodologi penyusunan Rencana Strategis Pembangunan AMPL-BM Kabupaten Rembang, 2) Visi, Misi dan Nilai, berisi tentang perumusan visi, misi, dan nilai pembangunan AMPL-BM Kabupaten Rembang, 3) Diskripsi Kondisi Internal dan Eksternal, berisi tentang diskripsi analisa internal dan eksternal pembangunan AMPL-BM Kabupaten Rembang, 4) Strategi Pencapaian dan Pengukuran Kinerja, berisi tentang isu strategis, penyusunan strategi pembangunan AMPL-BM Kabupaten Rembang dan penetapan indikator kinerja, satuan rencana, realisasi, sumber pembuktian dan asumsi dalam Pembangunan AMPL-BM Kabupaten Rembang, serta 5) Penutup, merupakan uraian kesimpulan dan saran dalam pelaksanaan strategi daerah pembangunan AMPL-BM Kabupaten Rembang.

Daftar Isi:

Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan dan Manfaat
C. Identitas Pelaku
D. Klarifikasi Mandat
E. Metodologi Penyusunan
F. Sistematika Penulisan

Bab II. Visi, Misi dan Nilai
A. Visi
B. Misi
C. Nilai

Bab III. Diskripsi Kondisi Internal dan Eksternal
A. Gambaran Umum
B. Persepsi Stakeholders Daerah pada Kondisi AMPL Saat Ini
C. Matriks Kondisi Internal dan Eksternal

Bab IV. Strategi Pencapaian dan Pencapaian Kinerja
A. Isu Strategis
B. Perumusan Kebijakan Strategis
C. Program Strategis
D. Program Kegiatan

Bab V. Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
 

Update on Some Recent Developments in Community-Led Total Sanitation

Kamal Kar and Petra Bongartz   Th. 746

This paper is intended to complement IDS working paper 257 (November 2005), by giving a short update on recent developments in the rapidly changing field of Community Led Total Sanitation (CLTS) in six countries in South and South East Asia. It highlights emerging trends, successes, challenges and lessons from Bangladesh, Cambodia, China, India, Indonesia and Nepal. The information given here in is accurate to the best of our knowledge but does not claim to be comprehensive.

Table of Contents:

Acknowledgements

Introduction

Bangladesh

Cambodia

China

India

Indonesia

Nepal
 

Manual of Community-Based Mapping

Th. 752

The purpose of the land mapping activity was to prepare the data needed in managing and solving the land and inventory problems of the community land ownership at the Nanggroe Darussalam Province.
 
The aim was to aid the government in reaching the target accurately, whether in the provinces or even the regencies/cities of Nanggroe Aceh Darussalam in solving the problems of community land and land ownership of the tsunami aftermath.

Table of Contents:

Table of Contents

Foreword

Introduction

A. Background
B. Purpose
C. Aim
D. Target
E. Benefit

Mapping Activity
A. Preparation
B. Mapping Activity Process

Closing
A. Conclusion
B. Suggestions

Attachment 1. Steps in Mapping Process from Aerial Photograph or Satellite Image
Attachment 2. Steps in Direct Measurement Implementation
Atachment 3. GPS Utilization Technique
Attachment 4. Compass Utilization Technique
Attachment 5. A Physical Authorization and Landmarking Boundary Preparation Statement Letter Form
 

Mengenali Permasalahan Pengelolaan Sanitasi Perkotaan di Indonesia (Makalah Ekonomi Perencanaan Kota)

Sofyan Iskandar   Th. 2.908

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasikan potensi masalah dari pengelolaan sanitasi yang buruk, yang berkaitan dengan pengelolaan air minum. Diharapkan akan memberikan masukan kepada para pelaku pembangunan air minum dan sanitasi dalam pembuatan kebijakan.
 
Dalam makalah ini hanya akan dilakukan pembahasan pada masalah yang ditimbulkan oleh penanganan yang salah atas sarana sanitasi dasar, dan hubungannya dengan pelayanan air minum. Sanitasi dasar yang dimaksud hanya mencakup segala buangan cair dari yang dihasilkan aktifitas domestik rumah tangga.
 
Struktur penulisan dibagi menjadi 4 bab, bab 1 merupakan pendahuluan. Bab 2 memberikan gambaran pelayanan sanitasi di Indonesia. Bab 3 membahas masalah dalam pengelolaan sanitasi, dan bab 4 merupakan rekomendasi.

Daftar Isi:

Bab 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Maksud dan Tujuan
1.3 Cakupan Masalah
1.4 Struktur Penulisan

Bab 2. Pelayanan Sanitasi Perkotaan di Indonesia
2.1 Pelayanan Sanitasi di Indonesia
2.2 Pelayanan Sanitasi di Perkotaan
2.3 Hubungan Antara Sanitasi dan Pelayanan Air Minum

Bab 3. Mengenali Permasalahan Sanitasi Perkotaan
3.1 Memahami Aspek Teknik Pengelolaan Sanitasi
3.2 Sanitasi Bukan Hanya Jamban
3.3 Pertumbuhan Penduduk versus Ketersediaan Lahan
3.4 Barang Privat versus Barang Publik
3.5 Subsidi versus Cost Recovery
3.6 Aspek Regulasi
3.7 Jalur Kontaminasi
3.8 Kerugian Ekonomi
3.9 Lembaga Pengelola
3.10 Partisipasi Masyarakat

Bab 4. Rekomendasi
4.1 Pengelolaan Sanitasi harus Terintegrasi dengan Air Minum
4.2 Pengelolaan Sanitasi untuk Memutus Siklus Transmisi
4.3 Pengelolaan Sanitasi untuk Meningkatkan Kesejahteraan
4.4 Perlu Peran Pemerintah dalam Penegakan Hukum
4.5 Perlu Penerapan Insentif dan Disinsentif
4.6 Pengelolaan Sanitasi untuk Konservasi Sumber Daya Alam
4.7 Perlu Pengelola yang Profesional
4.8 Perlu Bimbingan Teknis kepada Masyarakat
4.9 Perlu Hierarki Tanggung Jawab atas Sanitasi
4.10 Perlu Penggalian Partisipasi Masyarakat dalam Pendanaan
4.11 Perlu Kampanye untuk Memperbaiki Kondisi Sanitasi
4.12 Sanitasi Perlu Diprioritaskan

Daftar Pustaka
 

Studi Literatur: Kontaminasi Arsenik terhadap Air Minum

Th. 1.180

Arsenik merupakan komponen natural kerak bumi yang dapat ditemukan dalam jumlah tertentu pada batu, tanah, air dan udara. Namun konsentrasi kandungan arsenik pada beberapa area dapat berbeda sesuai dengan kondisi alami dan aktivitas manusianya.
  
Kontaminasi arsenik terhadap air minum dapat dipastikan akan mempunyai dampak yang sangat buruk terhadap tingkat kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di lokasi rawan arsenik. Dampak negatif ini tidak terjadi secara langsung, tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat diketahui oleh masyarakat korban kontaminasi.
  
Studi literature ini mencoba mengupas mengenai masalah kontaminasi arsenik di Indonesia dan berbagi belahan dunia, khususnya terhadap air minum.

Daftar Isi:

1. Pengenalan Senyawa Arsenik
1.1 Origin Arsenik
1.2 Arsenik dan Lingkungan
1.3 Kontaminasi Arsenik pada Air Minum

2. Temuan Arsenik Di Berbagai Belahan Dunia
2.1 Situasi Global Pencemaran Arsenik
2.2 Arsenik di Bangladesh

3. Temuan Arsenik Di Indonesia
3.1 Arsenik sebagai Bahan Ikutan (tailing) Pertambangan
3.2 Jurnal Nature Geoscience: Kawasan Pesisir Pantai Timur Pulau Sumatera Indonesia Termasuk sebagai salah satu Kawasan Rawan Tercemar Arsenik di Asia Tenggara
3.3 Kawasan Tercemar Arsenik di Indonesia
3.4 Pemerintah dalam Menanggapi Isu Arsenik
3.5 Kesimpulan Awal

4. Identifikasi dan Penanganan Arsenik
4.1 Identifikasi Pencemaran Arsenik pada Sumber Air Baku
4.2 Penanganan Kontaminasi Arsenik

5. Penyediaan Air Minum Di Wilayah Terpapar Arsenik
5.1 Kondisi Penggunaan Air Bersih Saat Ini
5.2 Tantangan Penyediaan Air Bersih

6. Kesimpulan dan Rekomendasi
6.1 Kesimpulan
6.2 Rekomendasi

Daftar Pustaka
 

Hak Asasi Manusia Atas Air : Studi tentang hukum air di Belanda, India, dan Indonesia

Hamid Chalid   Th. 1.415

Disertasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan kerangka teori hak asasi manusia dan teori hak kebendaan serta public trust doctrine. Fokus penelitian adalah mengkaji bagaimana hukum di Belanda, India dan Indonesia mengakomodasi gagasan hak asasi manusia atas air, baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan ataupun dalam putusan-putusan pengadilan. Hasil penelitian ini mendapati bahwa putusan-putusan pengadilan di India dan Indonesia mengakui adanya hak asasi manusia atas air dan mangatribusikan hak tersebut kepada hak hidup yang dijamin oleh konstitusi masing-masing negara. Sementara Belanda, hak asasi manusia atas air tidak pernah menjadi isu, sehingga tidak ditemukan adanya putusan pengadilan mengenai hal tersebut. Konstitusi
Belanda sendiri, sebagaimana normalnya konstitusi negara demokrasi modern memberikan perlindungan atas hak-hak fundamental warganegaranya. Penelitian ini juga mendapati bahwa terdapat kesamaan prinsip yang dianut dalam Konstitusi Indonesia dan perkembangan hukum air di India yang berkembang dalam putusan-putusan pengadilannya. Konstitusi Indonesia menganut dua prinsip dasar berkaitan dengan air atau sumber daya air yaitu bahwa air adalah milik publik (public good) dan bahwa air “dikuasai oleh Negara”. Kedua prinsip ini adalah prinsip yang dikandung dalam public trust doctrine yang diakui eksistensinya dalam hukum air India melalui putusan-putusan
pengadilannya. Kedudukan air sebagai benda publik ini telah memungkinkan pengadilan-pengadilan India menegakkan hak asasi manusia atas air, utamanya air yang bersumber pada lahan yang dimiliki oleh perorangan. Putusan semacam ini mengubah total paradigma common law yang semula menempatkan air tanah dalam rezim private property rights yang juga merupakan hak fundamental warga negara yang diakui baik oleh konstitusi India maupun Indonesia.

Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 tahun 2005 bertentangan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi atas Undang-undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya air (UUSDA). Oleh karena
itu, saran dari hasil penelitian antara lain adalah bahwa masyarakat dapat melakukan setidaknya dua langkah atas itu: pertama, mengajukan uji materil atas PP 16/2005 ke Mahkamah agung dengan menjadikan putusan Mahkamah konstitusi sebagai alat bukti; kedua, mengajukan uji materil kedua atas UUSDA ke Mahkamah Konstitusi dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bukti baru yang menunjukkan bahwa pelaksanaan UUSDA bertentangan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi atas undang-undang tersebut. Ini dimungkinkan karena kesesuaian UUSDA terhdap UUD 1945, menurut Mahkamah Konstitusi, bersifat kondisional (conditionally constitutional).