Peraturan Menteri

Penataan Ruang

2007 1.369

Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketidaksesuaian Undang-Undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dengan kondisi saat ini, maka dibuatlah Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang-undang ini terdiri dari 13 Bab dan 80 Pasal. Ruang lingkup peraturan ini meliputi Bab I Ketentuan Umum, Bab II Asas dan Tujuan, Bab III Klasifikasi Penataan Ruang, Bab IV Tugas dan Wewenang, Bab V Pengaturan dan Pembinaan Penataan Ruang, Bab VI Pelaksanaan Penataan Ruang, Bab VII Pengawasan Penataan Ruang, Bab VIII Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, Bab IX Penyelesaian Sengketa, Bab X Penyidikan, Bab XI Ketentuan Pidana, Bab XII Ketentuan Peralihan, dan Bab XIII Ketentuan Penutup.

Peraturan ini menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut, maka dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.

Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk pedoman bidang penataan ruang.

Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

 

Daftar Isi :

Bab I Ketentuan Umum; Bab II Asas dan Tujuan; Bab III Klasifikasi Penataan Ruang; Bab IV Tugas dan Wewenang; Bab V Pengaturan dan Pembinaan Penataan Ruang; Bab VI Pelaksanaan Penataan Ruang; Bab VII Pengawasan Penataan Ruang; Bab VIII Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat; Bab IX Penyelesaian Sengketa; Bab X Penyidikan; Bab XI Ketentuan Pidana; Bab XII Ketentuan Peralihan; Bab XIII Ketentuan Penutup.

Pengesahan Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity

2004 1.081

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati sangat kaya yang perlu dikelola untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong peningkatan penelitian dan pengembangan bioteknologi yang mampu menghasilkan organisme hasil modifikasi genetik yang dimanfaatkan di bidang pangan, pertanian, kehutanan, farmasi dan industri. Hal tersebut mengandung risiko yang menimbulkan dampak merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia sehingga untuk menjamin tingkat keamanan hayati perlu diatur pemindahan, penanganan, dan pemanfaatannya.

Mengingat Indonesia telah mengesahkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994, maka sangatlah penting bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia untuk mengesahkan pula Cartagena Protocol On Biosafety to the Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati).

Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim)

2004 1.327

Perubahan iklim bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menimbulkan pengaruh merugikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities) dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tiap-tiap negara.

Sebagai negara tropis yang memiliki hutan terluas kedua di dunia, Indonesia memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi. Protokol Kyoto mengatur emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia agar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Oleh karena itu Indonesia mengesahkan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention On Climate Change (Pengesahan Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) melalui Undang-Undang ini.

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

2007 19.828

Peraturan ini ditetapkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 30 ayat (9) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952) dan semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian urusan pemerintahan dinyatakan tidak berlaku.

Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.

Pembagian urusan pemerintahan didasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang didasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait.

Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini menjadi kewenangan masing-masing tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yang penentuannya dengan menggunakan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang telah ditetapkan. Menteri/kepala lembaga pemerintah non-departemen menetapkan norma, standar, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan sisa.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah Kabupaten/Kota telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan.

Dalam hal pembinaan urusan pemerintahan, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Khusus untuk Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota secara otomatis menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus daerah yang bersangkutan.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Urusan Pemerintahan; Bab III Pembagian Urusan Pemerintahan : Bagian Kesatu : Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah, Bagian Kedua : Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah; Bab IV Pengelolaan Urusan Pemerintahan Lintas Daerah; Bab V Urusan Pemerintahan Sisa; Bab VI Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; Bab VII Pembinaan Urusan Pemerintahan; Bab VIII Ketentuan Lain-lain; Bab IX Ketentuan Penutup.

Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

2006 6.485

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ruang lingkup peraturan ini meliputi Ketentuan Umum, Pejabat Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran, Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan, Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan, Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian, Ketentuan Lain-lain, Ganti Rugi dan Sanksi, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.

Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Barang milik negara/daerah meliputi : barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah pengelola barang milik negara. Sedangkan Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada dan berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan dan standar harga.

Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Untuk status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut : barang milik negara oleh pengelola barang sedangkan barang milik daerah oleh Gubernur/Bupati/Walikota.

Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umm sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.

Dalam hal pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola barang. Adapun bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa : sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun guna serah dan bangun serah guna.

Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya. Barang milik negara/daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.

Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah. Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Sedangkan penghapusan barang milik negara/daerah meliputi : penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna dan penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah. Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan barang milik negara/daerah meliputi : penjualan, tukar-menukar, hibah, dan penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.

Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas pengelolaan barang milik negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah tersebut diatas dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daftar Isi:
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pejabat Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; Bab III Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran; Bab IV Pengadaan; Bab V Penggunaan; Bab VI Pemanfaatan; Bab VII Pengamanan dan Pemeliharaan; Bab VIII Penilaian; Bab IX Penghapusan; Bab X Pemindahtanganan; Bab XI Penatausahaan; Bab XII Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian; Bab XIII Ketentuan Lain-Lain; Bab XIV Ganti Rugi dan Sanksi; Bab XV Ketentuan Peralihan; Bab XVI Ketentuan Penutup

Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)

1984 17.021

Perkumpulan Petani Pemakai Air (selanjutnya disingkat P3A) bertujuan mendayagunakan potensi air irigasi yang tersedia di dalam petak tersier atau daerah irigasi pedesaan untuk kesejahteraan masyarakat tani. P3A juga mempunyai batas-batas daerah kerja, yaitu petak tersier, daerah irigasi pompa yang areal pelayanannya dipersamakan dengan petak tersier, dan daerah irigasi pedesaan.

P3A merupakan perkumpulan yang bersifat sosial dengan maksud menuju ke arah hasil guna pengelolaan air dan jaringan irigasi di tingkat usaha tani untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. P3A dilengkapi dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang disahkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setelah mendapat persetujuan dari Kepala Desa dan Camat setempat.

Susunan organisasi P3A terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus, dan Anggota. Segala pekerjaan yang dilakukan oleh P3A baik untuk keperluan pendayagunaan air, pemeliharaan, dan perbaikan jaringan irigasi maupun untuk kegiatan lainnya dibiayai oleh P3A yang bersangkutan. Sumber biaya P3A terdiri dari iuran anggota, sumbangan atau bantuan dan usaha-usaha lain yang menurut hukum.

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I memberi petunjuk pelaksanaan dalam rangka pembinaan dan pengembangan P3A. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II bertanggung jawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan P3A. Camat melaksanakan koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan dan pengembangan P3A. Sedangkan Kepala Desa melaksanakan pembinaan dan pengembangan P3A sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya.

Daftar Isi :
Bab I Pengertian Umum; Bab II Azas, Tujuan dan Tugas; Bab III Batas Daerah Kerja; Bab IV Sifat dan Bentuk; Bab V Susunan Organisasi; Bab VI Tugas dan Wewenang; Bab VII Hak dan Kewajiban; Bab VIII Pembiayaan; Bab IX Ketentuan Penutup.

Kehutanan

1999 1.249

Karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntutan perkembangan keadaan maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan perlu diganti.

Dalam undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan perencanaan kehutanan; pengelolaan hutan; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan pengawasan.

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.

Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan SDM berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan.

Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan/atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemda.

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Status dan Fungsi Hutan; Bab III Pengurusan Hutan; Bab IV Perencanaan Kehutanan; Bab V Pengelolaan Hutan; Bab VI Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan Serta Penyuluhan Kehutanan; Bab VII Pengawasan; Bab VIII Penyerahan Kewenangan; Bab IX Masyarakat Hukum Adat; Bab X Peran Serta Masyarakat; Bab XI Gugatan Perwakilan; Bab XII Penyelesaian Sengketa Kehutanan; Bab XIII Penyidikan; Bab XIV Ketentuan Pidana; Bab XV Ganti Rugi dan Sanksi Administratif; Bab XVI Ketentuan Peralihan; Bab XVII Ketentuan Penutup.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

2007 6.347

Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ditetapkan dengan undang-undang.

RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.

Program Pembangunan Nasional periode 2005 – 2025 dilaksanakan sesuai dengan RPJP Nasional. Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk menghindarkan kekosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang sedang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya.

Pemerintah melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Nasional. Sedangkan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian dan evalusi pelaksanaan RPJP Daerah.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Program Pembangunan Nasional; Bab III Pengendalian dan Evaluasi; Bab IV Ketentuan Peralihan; Bab V Ketentuan Penutup.