Peraturan Menteri
Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 123/2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Air
2002
1.036
Untuk meningkatkan tugas dan fungsi Tim Koordinasi Sumber Daya Air maka diperlukan penyesuaian terhadap susunan keanggotaan Tim Koordinasi Sumber Daya Air. Peraturan ini merupakan perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air.
Di dalam Keputusan Presiden ini mengubah ketentuan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001, sehingga Pasal 5 berbunyi :
“Susunan keanggotaan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air terdiri atas :
Ketua :
Menteri Negara Koordinator Bidang (merangkap anggota) Perekonomian.
Wakil Ketua :
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan (merangkap anggota) Nasional/Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional.
Ketua Harian :
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (merangkap anggota).
Anggota :
1.Menteri Dalam Negeri2.Menteri Pertanian3.Menteri Perhutanan4.Menteri Perhubungan5.Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral6.Menteri Kelautan dan Perikanan7.Menteri Kesehatan8.Menteri Perindustrian dan Perdagangan9.Menteri Keuangan10.Menteri Negara Lingkungan Hidup
Sekretaris I :
Deputi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS Bidang Sarana dan Prasarana
Sekretaris II :
Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Di dalam Keputusan Presiden ini mengubah ketentuan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 2001, sehingga Pasal 5 berbunyi :
“Susunan keanggotaan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air terdiri atas :
Ketua :
Menteri Negara Koordinator Bidang (merangkap anggota) Perekonomian.
Wakil Ketua :
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan (merangkap anggota) Nasional/Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional.
Ketua Harian :
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (merangkap anggota).
Anggota :
1.Menteri Dalam Negeri2.Menteri Pertanian3.Menteri Perhutanan4.Menteri Perhubungan5.Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral6.Menteri Kelautan dan Perikanan7.Menteri Kesehatan8.Menteri Perindustrian dan Perdagangan9.Menteri Keuangan10.Menteri Negara Lingkungan Hidup
Sekretaris I :
Deputi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS Bidang Sarana dan Prasarana
Sekretaris II :
Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N)
2003
2.418
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (selanjutnya disebut Badan) adalah badan non-struktural yang dipimpin oleh Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Keanggotaan Badan terdiri atas Ketua, Anggota, dan dibantu oleh Pelaksana Harian serta Sekretaris Badan merangkap Sekretaris Pelaksana Harian.
Badan mempunyai tugas pokok, diantaranya menyiapkan rumusan kebijakan nasional dan strategis di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, memberikan penyelesaian atas berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan antar dan/atau oleh Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, serta melaksanakan pengawasan dan pengendalian penerapan kebijakan nasional terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.
Badan bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan, atau sewaktu-waktu diperlukan. Ketua Badan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada Presiden. Pelaksana Harian bersidang sekurang-kurangnya 4 (empat) kali setiap tahun, atau sewaktu-waktu diperlukan.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, apabila dipandang perlu, Ketua Pelaksana Harian dapat membentuk Tim Teknis yang anggota-anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari instansi Pemerintah terkait.
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan dibebankan kepada anggaran Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Sedangkan segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/Kota dibebankan kepada anggaran Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Daftar Isi :
Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi dan Tata Kerja; Bab III Pembiayaan; Bab IV Ketentuan Penutup
Badan mempunyai tugas pokok, diantaranya menyiapkan rumusan kebijakan nasional dan strategis di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, memberikan penyelesaian atas berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan antar dan/atau oleh Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, serta melaksanakan pengawasan dan pengendalian penerapan kebijakan nasional terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.
Badan bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan, atau sewaktu-waktu diperlukan. Ketua Badan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada Presiden. Pelaksana Harian bersidang sekurang-kurangnya 4 (empat) kali setiap tahun, atau sewaktu-waktu diperlukan.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, apabila dipandang perlu, Ketua Pelaksana Harian dapat membentuk Tim Teknis yang anggota-anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari instansi Pemerintah terkait.
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan dibebankan kepada anggaran Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Sedangkan segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/Kota dibebankan kepada anggaran Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Daftar Isi :
Bab I Kedudukan, Tugas dan Fungsi; Bab II Organisasi dan Tata Kerja; Bab III Pembiayaan; Bab IV Ketentuan Penutup
Tata Cara Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri
2006
3.748
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menetapkan bahwa dalam rangka membiayai dan mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, Pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan/atau menerima hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman dan/atau hibah dimaksud dapat diterus-pinjamkan kepada Daerah atau BUMN.
Pemerintah berwenang melakukan pinjaman luar negeri. Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Menteri. Pemerintah dapat menerima pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari : Negara asing, Lembaga Multilateral, Lembaga Keuangan dan non keuangan, serta Lembaga Keuangan non asing.
Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur tentang pengadaan pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri dan penerusannya kepada Daerah/BUMN dalam bentuk pinjaman dan/atau hibah. Sedangkan pengadaan pinjaman yang berasal dari dalam negeri diatur dalam peratura perundang-undangan tersendiri.
Pengelolaan PHLN menganut prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan juga mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PHLN dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, monitoring, evaluasi, dan pengawasan. Selain itu, agar PHLN dapat dikelola secara baik perlu dilakukan peningkatan transparansi dan akuntablitas PHLN melalui penyelenggaraan publikasi informasi.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kewenangan; Bab III Sumber, Jenis dan Persyaratan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab IV Perencanaan dan Pengadaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab V Pelaksanaan dan Penatausahaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab VI Tata Cara Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab VII Pelaporan, Monitoring, Evaluasi, dan Pengawasan; Bab VIII Pembayaran Pinjaman; Bab IX Transparansi dan Akuntabilitas; Bab X Ketentuan Peralihan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menetapkan bahwa dalam rangka membiayai dan mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, Pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan/atau menerima hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman dan/atau hibah dimaksud dapat diterus-pinjamkan kepada Daerah atau BUMN.
Pemerintah berwenang melakukan pinjaman luar negeri. Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Menteri. Pemerintah dapat menerima pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari : Negara asing, Lembaga Multilateral, Lembaga Keuangan dan non keuangan, serta Lembaga Keuangan non asing.
Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur tentang pengadaan pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri dan penerusannya kepada Daerah/BUMN dalam bentuk pinjaman dan/atau hibah. Sedangkan pengadaan pinjaman yang berasal dari dalam negeri diatur dalam peratura perundang-undangan tersendiri.
Pengelolaan PHLN menganut prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan juga mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PHLN dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, monitoring, evaluasi, dan pengawasan. Selain itu, agar PHLN dapat dikelola secara baik perlu dilakukan peningkatan transparansi dan akuntablitas PHLN melalui penyelenggaraan publikasi informasi.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kewenangan; Bab III Sumber, Jenis dan Persyaratan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab IV Perencanaan dan Pengadaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab V Pelaksanaan dan Penatausahaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab VI Tata Cara Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri; Bab VII Pelaporan, Monitoring, Evaluasi, dan Pengawasan; Bab VIII Pembayaran Pinjaman; Bab IX Transparansi dan Akuntabilitas; Bab X Ketentuan Peralihan.
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
2005
1.444
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Badan Layanan Umum (BLU) bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi yang bersangkutan.
Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif melalui pola Badan Layanan Umum. Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa.
Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yeng ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Pola BLU tersedia untuk diterapkan oleh setiap instansi pemerintah yang secara fungsional menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional. Dengan demikian, BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format baru dalam pengelolaan APBN/APBD, tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan baru bagi pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tujuan dan Asas; Bab III Persyaratan, Penetapan, dan Pencabutan; Bab IV Standar dan Tarif Layanan; Bab V Pengelolaan Keuangan BLU; Bab VI Tata Kelola; Bab VII Ketentuan Lain; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
Badan Layanan Umum (BLU) bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi yang bersangkutan.
Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif melalui pola Badan Layanan Umum. Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa.
Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yeng ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Pola BLU tersedia untuk diterapkan oleh setiap instansi pemerintah yang secara fungsional menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional. Dengan demikian, BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format baru dalam pengelolaan APBN/APBD, tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan baru bagi pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Tujuan dan Asas; Bab III Persyaratan, Penetapan, dan Pencabutan; Bab IV Standar dan Tarif Layanan; Bab V Pengelolaan Keuangan BLU; Bab VI Tata Kelola; Bab VII Ketentuan Lain; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.
Dana Perimbangan
2005
8.944
Ketentuan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kini telah disempurnakan menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pemerintah Daerah. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Sedangkan DAU dialokasikan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional.
DAU suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. DAU suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang-undang pembentukan disahkan.
Pengawasan atas pelaksanaan Dana Perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejak berlakunya peraturan pemerintah ini sampai dengan Tahun Anggaran 2007 jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Dana Bagi Hasil; Bab III Dana Alokasi Umum; Bab IV Dana Alokasi Khusus; Bab V Pengawasan; Bab VI Ketentuan Peralihan; Bab VII Ketentuan Penutup.
Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pemerintah Daerah. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Sedangkan DAU dialokasikan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional.
DAU suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. DAU suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang-undang pembentukan disahkan.
Pengawasan atas pelaksanaan Dana Perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejak berlakunya peraturan pemerintah ini sampai dengan Tahun Anggaran 2007 jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Dana Bagi Hasil; Bab III Dana Alokasi Umum; Bab IV Dana Alokasi Khusus; Bab V Pengawasan; Bab VI Ketentuan Peralihan; Bab VII Ketentuan Penutup.
Hibah Kepada Daerah
2005
971
Prinsip kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.Sumber pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi di daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Lain-lain Pendapatan. Salah satu komponen Lain-lain Pendapatan yang dinyatakan dalam Pasal 43 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai bentuk hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah hibah.
Hibah bersumber dari Dalam Negeri dan/atau Luar Negeri. Penerimaan hibah bersifat sebagai bantuan yang tidak mengikat, dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan didalam NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) dan/atau NPPH (Naskah Perjanjian Penerusan Hibah).
Hibah digunakan untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan layanan dasar umum, serta pemberdayaan aparatur Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran hibah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pemberian Hibah; Bab III Penerimaan Hibah; Bab IV Penggunaan Hibah : Bagian Kesatu Tujuan Hibah, Bagian Kedua Pengelolaan Hibah, Bagian Ketiga Pertanggungjawaban Dan Pelaporan Hibah; Bab V Ketentuan Peralihan; Bab VI Ketentuan Penutup.
Hibah bersumber dari Dalam Negeri dan/atau Luar Negeri. Penerimaan hibah bersifat sebagai bantuan yang tidak mengikat, dan harus digunakan sesuai dengan persyaratan didalam NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) dan/atau NPPH (Naskah Perjanjian Penerusan Hibah).
Hibah digunakan untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan layanan dasar umum, serta pemberdayaan aparatur Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran hibah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pemberian Hibah; Bab III Penerimaan Hibah; Bab IV Penggunaan Hibah : Bagian Kesatu Tujuan Hibah, Bagian Kedua Pengelolaan Hibah, Bagian Ketiga Pertanggungjawaban Dan Pelaporan Hibah; Bab V Ketentuan Peralihan; Bab VI Ketentuan Penutup.
Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
2005
22.029
Peraturan ini adalah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.
Standar Pelayanan Minimal (selanjutnya disingkat SPM) disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Dalam penyusunan SPM ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM. Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Tim Konsultasi terdiri dari unsur-unsur Depdagri, Bappenas, Departemen Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dengan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait sesuai kebutuhan.
Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM. Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintah Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah dan pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.
Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup; Bab III Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal; Bab IV Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; Bab V Penerapan Standar Pelayanan Minimal; Bab VI Pembinaan dan Pengawasan; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.
Standar Pelayanan Minimal (selanjutnya disingkat SPM) disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Dalam penyusunan SPM ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM. Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Tim Konsultasi terdiri dari unsur-unsur Depdagri, Bappenas, Departemen Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dengan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait sesuai kebutuhan.
Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan SPM ke dalam sistem informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM. Pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintah Daerah Provinsi dilakukan oleh Pemerintah dan pembinaan penerapan SPM terhadap Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.
Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup; Bab III Prinsip-prinsip Standar Pelayanan Minimal; Bab IV Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; Bab V Penerapan Standar Pelayanan Minimal; Bab VI Pembinaan dan Pengawasan; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.
Pinjaman Daerah
2005
4.032
Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau untuk menutup kekurangan kas yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah lainnya sepanjang tidak melampaui batas kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah merupakan dokumen publik dan diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada Pemerintah, maka akan diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, besaran Pinjaman Daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan Daerah karena dapat menimbulkan beban APBD tahun-tahun berikutnya, sehingga perlu didukung dengan ketrampilan perangkat Daerah dalam mengelola Pinjaman Daerah.
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekonomian nasional.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Prinsip Umum Pinjaman Daerah; Bab III Batas Pinjaman Daerah; Bab IV Persyaratan Umum Pinjaman Daerah; Bab V Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Pemerintah; Bab VI Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Selain Pemerintah; Bab VII Obligasi Daerah; Bab VIII Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah; Bab IX Pelaporan dan Sanksi Pinjaman Daerah; Bab X Ketentuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Peralihan.
Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah lainnya sepanjang tidak melampaui batas kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah merupakan dokumen publik dan diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada Pemerintah, maka akan diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, besaran Pinjaman Daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan Daerah karena dapat menimbulkan beban APBD tahun-tahun berikutnya, sehingga perlu didukung dengan ketrampilan perangkat Daerah dalam mengelola Pinjaman Daerah.
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekonomian nasional.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Prinsip Umum Pinjaman Daerah; Bab III Batas Pinjaman Daerah; Bab IV Persyaratan Umum Pinjaman Daerah; Bab V Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Pemerintah; Bab VI Prosedur Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Selain Pemerintah; Bab VII Obligasi Daerah; Bab VIII Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah; Bab IX Pelaporan dan Sanksi Pinjaman Daerah; Bab X Ketentuan Peralihan; Bab XI Ketentuan Peralihan.
Pengelolaan Limbah Radioaktif
2002
4.259
Peraturan Pemerintah ini sebagai pelaksana dari ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Peraturan ini mengatur klasifikasi limbah radioaktif, manajemen perizinan, pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan limbah radioaktif, program jaminan kualitas, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, pengolahan limbah radioaktif tambang bahan galian nuklir dan tambang lainnya, program dekomisioning, serta penanggulangan kecelakaan nuklir dan/atau radiasi.
Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan/atau kontaminasi. Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan tenaga nuklir wajib menyatakan kepada Badan Pengawas bahwa limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk dikelola. Pengolahan limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang dapat dilakukan sendiri oleh Penghasil limbah radioaktif.
Pengelola limbah radioaktif sebelum melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif harus membuat program jaminan kualitas untuk kegiatan desain, pembangunan, pengoperasian dan perawatan, dekomisioning instalasi, serta pengelolaan limbah radioaktif. Pengelola lombah radioaktif harus melakukan pemantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas lingkungan di sekitar instalasi.
Badan Pelaksana atau badan yang melakukan penambangan bahan galian nuklir wajib melakukan pengumpulan, pengelompokkan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah radioaktif. Sebelum melaksanakan dekomisioning instalasi pengolahan limbah radioaktif, setiap Pengolah limbah radioaktif wajib menyampaikan dokumen program dekomisioning kepada Badan Pengawas. Penghasil, Pengolah, dan Pengelola limbah radioaktif harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan nuklir dan/atau radiasi.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup, Asas dan Tujuan; Bab III Klasifikasi Limbah Radioaktif; Bab IV Manajemen Perizinan; Bab V Pengolahan, Pengangkutan dan Penyimpanan Limbah Radioaktif; Bab VI Program Jaminan Kualitas; Bab VII Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan; Bab VIII Pengolahan Limbah Radioaktif Tambang Bahan Galian Nuklir dan Tambang Lainnya; Bab IX Program Dekomisioning; Bab X Penanggulangan Kecelakaan Nuklir dan/atau Radiasi; Bab XI Sanksi Administratif; Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Penutup.
Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan/atau kontaminasi. Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan tenaga nuklir wajib menyatakan kepada Badan Pengawas bahwa limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk dikelola. Pengolahan limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang dapat dilakukan sendiri oleh Penghasil limbah radioaktif.
Pengelola limbah radioaktif sebelum melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif harus membuat program jaminan kualitas untuk kegiatan desain, pembangunan, pengoperasian dan perawatan, dekomisioning instalasi, serta pengelolaan limbah radioaktif. Pengelola lombah radioaktif harus melakukan pemantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas lingkungan di sekitar instalasi.
Badan Pelaksana atau badan yang melakukan penambangan bahan galian nuklir wajib melakukan pengumpulan, pengelompokkan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah radioaktif. Sebelum melaksanakan dekomisioning instalasi pengolahan limbah radioaktif, setiap Pengolah limbah radioaktif wajib menyampaikan dokumen program dekomisioning kepada Badan Pengawas. Penghasil, Pengolah, dan Pengelola limbah radioaktif harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan nuklir dan/atau radiasi.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Ruang Lingkup, Asas dan Tujuan; Bab III Klasifikasi Limbah Radioaktif; Bab IV Manajemen Perizinan; Bab V Pengolahan, Pengangkutan dan Penyimpanan Limbah Radioaktif; Bab VI Program Jaminan Kualitas; Bab VII Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan; Bab VIII Pengolahan Limbah Radioaktif Tambang Bahan Galian Nuklir dan Tambang Lainnya; Bab IX Program Dekomisioning; Bab X Penanggulangan Kecelakaan Nuklir dan/atau Radiasi; Bab XI Sanksi Administratif; Bab XII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Penutup.