Peraturan Menteri

Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah RI Ke Dalam Modal Perum Jasa Tirta I

2002 944

Pemerintah melakukan penambahan penyertaan modal ke dalam modal Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I, yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 1999 tentang Perum Jasa Tirta I. Penambahan penyertaan modal tersebut berasal dari kekayaan Negara.

Pelaksanaan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam Perum Jasa Tirta I dilakukan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM), Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Daftar Isi :
Bab I Penambahan Penyertaan Modal; Bab II Pelaksanaan Penambahan Penyertaan Modal; Bab III Ketentuan Penutup

Irigasi

2006 1.116

Peraturan ini adalah pelaksanaan dari ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dan pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi dinyatakan tidak berlaku.

Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi.

Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan mengutamakan kepentingan dan peran serta masyarakat petani.

Untuk mewujudkan tertib pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun Pemerintah dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi yakni meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air, dan komisi irigasi.

Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota dapat saling bekerja sama dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder atas dasar kesepakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air. Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan kepada masyarakat petani melalui perkumpulan petani pemakai air dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi yang sudah ada diperoleh tanpa izin.

Untuk pembangunan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai dengan memperhatikan rencana pembangunan pertanian, dan sesuai dengan norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetapkan oleh Menteri. Perkumpulan petani pemakai air dapat berperan serta dalam rehabilitasi jaringan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan persetujuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air.

Dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada setiap daerah irigasi dilaksanakan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi; Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi; Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab; Bab V Partisipasi Masyarakat Petani dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi; Bab VI Pemberdayaan; Bab VII Pengelolaan Air Irigasi; Bab VIII Pengembangan Jaringan Irigasi; Bab IX Pengelolaan Jaringan Irigasi; Bab X Pengelolaan Aset Irigasi; Bab XI Pembiayaan; Bab XII Alih Fungsi Lahan Beririgasi; Bab XIII Koordinasi Pengelolaan Sistem Irigasi; Bab XIV Pengawasan; Bab XV Ketentuan Peralihan; Bab XVI Ketentuan Penutup.

Pengendalian Pencemaran Air

1990 2.739

Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga perlu dipelihara kualitasnya agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu Pemerintah dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air.

Gubernur menunjuk instansi teknis di daerah untuk melakukan inventarisasi kualitas dan kuantitas air untuk kepentingan pengendalian pencemaran air. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, menetapkan prioritas pelaksanaan inventarisasi kualitas dan kuantitas air. Data kualitas dan kuantitas air disusun dan didokumentasikan pada instansi teknis yang bertanggung jawab, di bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Kemudian Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengidentifikasi sumber-sumber pencemaran air.

Ketetapan tentang baku mutu air untuk golongan air ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Metode analisa untuk setiap parameter baku mutu air dan baku mutu limbah cair ditetapkan oleh Menteri. Apabila kualitas air lebih rendah dari kualitas air menurut golongan yang telah ditetapkan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menetapkan program peningkatan kualitas air.

Untuk pengendalian pencemaran air di daerah dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan atau Pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang bersangkutan menetapkan baku mutu limbah cair. Baku mutu air, daya tampung beban pencemaran dan baku mutu limbah cair ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Setiap orang atau badan yang membuang limbah cair wajib mentaati baku mutu limbah cair sebagaimana ditentukan dalam izin pembuangan limbah cair yang ditetapkan baginya. Baku mutu limbah cair yang diizinkan dibuang ke dalam air oleh suatu kegiatan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berdasarkan baku mutu limbah cair yang ditetapkan.

Setiap orang yang mengetahui atau menduga terjadinya pencemaran air berhak melaporkan kepada Gubernur Kepada Daerah Tingkat I atau aparat Pemerintah Daerah terdekat atau Kepala Kepolisian Resort atau Aparat Kepolisian terdekat.

Dalam hal pembiayaan inventarisasi kualitas dan kuantitas air dibebankan pada anggaran daerah yang bersangkutan. Sedangkan biaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran air akibat suatu kegiatan dibebankan kepada penanggungjawab kegiatan yang bersangkutan.

Apabila untuk suatu jenis kegiatan belum ditentukan baku mutu limbah cairnya, maka baku mutu limbah cair yang boleh dibuang ke dalam air oleh kegiatan tersebut ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Inventarisasi Kualitas dan Kuantitas Air; Bab III Penggolongan; Bab IV Upaya Pengendalian; Bab V Perizinan; Bab VI Pengawasan dan Pemantauan; Bab VII Pembiayaan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

1999 1.010

Dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali.

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3. Untuk pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, dan penimbun limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.

Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab. Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab. Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 bertanggung jawab atas penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkungan hidup akibat lepas atau tumpahnya limbah B3 yang menjadi tanggung jawabnya.

Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II untuk skala yang bisa ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau penimbun. Dalam hal pembiayaan, segala biaya untuk memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan kepada pemohon izin.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Identifikasi Limbah B3; Bab III Pelaku Pengelolaan: Bagian Pertama : Penghasil, Bagian Kedua : Pengumpul, Bagian Ketiga: Pengangkut, Bagian Keempat : Pemanfaat, Bagian Kelima : Pengolah, Bagian Keenam : Penimbun; Bab IV Kegiatan Pengelolaan : Bagian Pertama : Reduksi Limbah B3, Bagian Kedua : Pengemasan, Bagian Ketiga : Penyimpanan, Bagian Keempat : Pengumpulan, Bagian Kelima : Pengangkutan, Bagian Keenam : Pemanfaatan, Bagian Ketujuh : Pengolahan, Bagian Kedelapan : Penimbunan; Bab V Tata Laksana : Bagian Pertama : Perizinan, Bagian Kedua : Pengawasan, Bagian Ketiga : Perpindahan Lintas Batas, Bagian Keempat : Informasi dan Pelaporan, Bagian Kelima : Penanggulangan dan Pemulihan, Bagian Keenam : Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan, Bagian Ketujuh : Pembiayaan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.

Perubahan Atas PP No.18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

1999 1.738

Untuk mengenali limbah yang dihasilkan secara dini diperlukan identifikasi berdasarkan uji toksikologi dengan penentuan nilai akut dan/atau kronik untuk menentukan limbah yang dihasilkan termasuk sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Pasal I mengubah ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Pasal 6 :
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan/atau uji karakteristik dan/atau uji toksikologi.

Pasal 7 :
(1)Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi limbah B3 dari sumber tidak spesifik, limbah B3 dari sumber spesifik, dan limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
(2)Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.
(3)Uji karakterisitik limbah B3 meliputi mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif.
(4)Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan/atau kronik.Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji karakteristik dan/atau uji toksikologi.

Pasal 8 :
(1)Limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran I, Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini, apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) dan/atau ayat (4) maka limbah tersebut merupakan limbah B3.
(2)Limbah B3 dari kegiatan yang tercantum dalam Lampiran I, Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini dapat dikeluarkan dari daftar tersebut oleh instansi yang bertanggung jawab, apabila dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa limbah tersebut bukan limbah B3 berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis, lembaga penelitian terkait dan penghasil limbah.
(3)Pembuktian secara ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan uji karakteristik limbah B3, uji toksikologi, dan/atau hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan pencemaran dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya.
(4)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) akan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis dan lembaga penelitian terkait.

Pasal II :
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.