Peraturan Menteri

Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air

2001 16.028

Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem. Hal tersebut dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan. Upaya pengelolaan kualitas air dilakukan pada :1.Sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;2.Mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan3.Akuifer air tanah dalam.

Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan/atau lintas batas negara. Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas Kab/Kota. Sedangkan Pemerintah Kab/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kab/Kota. Pemerintah dapat menentukan baku mutu air yang lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi dan/atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah.

Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan tetap memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.

Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan/atau sarana pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pemerintah Kab/Kota dapat dikenakan retribusi yang ditetapkan dengan Perda Kab/Kota. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.

Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan dari Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Pengelolaan Kualitas Air; Bab III Pengendalian Pencemaran Air; Bab IV Pelaporan; Bab V Hak Dan Kewajiban; Bab VI Persyaratan Pemanfaatan Dan Pembuangan Air Limbah; Bab VII Pembinaan Dan Pengawasan; Bab VIII Sanksi; Bab IX Ketentuan Peralihan; Bab X Ketentuan Penutup.

Pengendalian Pencemaran Udara

1999 15.700

Ketentuan ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.

Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.

Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan.

Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Perlindungan Mutu Udara; Bab III Pengendalian Pencemaran Udara; Bab IV Pengawasan; Bab V Pembiayaan; Bab VI Ganti Rugi; Bab VII Sanksi; Bab VIII Ketentuan Peralihan; Bab IX Ketentuan Penutup.

Pedoman Penentuan Status Mutu Air

2003 2.135

Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metode STORET (metoda ini merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan) atau Metoda Indeks Pencemaran. Dengan metoda STORET dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Sedangkan Metode Indeks Pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan.

Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda tersebut diatas.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan Jasaboga

2003 966

Setiap jasaboga harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk memiliki izin usaha tersebut, Jasaboga harus memiliki sertifikat hygiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Pengusaha dan/atau penanggung jawab jasaboga wajib menyelenggarakan jasaboga yang memenuhi syarat hygiene sanitasi. Penanggung jawab jasaboga yang menerima laporan atau mengetahui adanya kejadian keracunan atau kematian yang diduga berasal dari makanan yang diproduksinya wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat guna dilakukan langkah-langkah penanggulangan.

Untuk pembinaan teknis penyelenggaraan jasaboga dan pengawasan pelaksanaan Keputusan ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam rangka pembinaan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan Asosiasi Jasaboga, organisasi profesi dan instansi terkait lainnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif berupa teguran lisan, terguran tertulis, sampai dengan pencabutan sertifikat hygiene sanitasi jasaboga terhadap jasaboga yang melakukan pelanggaran atas Keputusan ini.

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 712/Menkes/Per/X/1986 tentang Persyaratan Kesehatan Jasaboga, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 635/Menkes/SK/VII/1988 tentang Penunjukkan Laboratorium dan Tata Cara Pemeriksaan Contoh Makanan dan Spesimen Jasaboga, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 410/Menkes/SK/VII/1991 tentang Penunjukkan Pejabat Yang Diberi Wewenang Memberikan Izin Penyehatan Makanan Jasaboga, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 362/Menkes/Per/IV/1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 712/Menkes/Per/X/1986 tentang Persyaratan Jasaboga beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penggolongan; Bab III Penyelenggaraan; Bab IV Persyaratan Hygiene Sanitas; Bab V Pembinaan dan Pengawasan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.

Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan

2000 3.437

Peraturan Pemerintah ini ditetapkan sebagai pelaksana ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak yang telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka gugatan yang disampaikan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.

Untuk lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sedangkan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah ditetapkan Gubernur/Bupati/Walikota dan berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan di daerahnya. Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat dibuat dengan Akta Notaris.

Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan pengembangannya dilakukan oleh asosiasi profesi yang bersangkutan. Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai.

Mengenai biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa atau sumber-sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat. Segala biaya kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah pada anggaran belanja instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan di pusat ataupun daerah yang bersangkutan.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Kelembagaan; Bab III Persyaratan Penunjukkan Pihak Ketiga Netral; Bab IV Tata Cara Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Lembaga Penyedia Jasa; Bab V Pembiayaan Lembaga Penyedia Jasa; Bab VI Ketentuan Penutup.

Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup

2004 1.053

Setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan yang disampaikan kepada Kepala Desa, Lurah atau Camat setempat, Bupati/Walikota atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota, Gubernur atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Provinsi, serta Menteri Lingkungan Hidup bagi pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan/atau dampaknya lintas batas Provinsi dan/atau lintas batas Negara.

Dalam melakukan verifikasi, Tim Verifikasi dapat meminta keterangan atau keterlibatan di lapangan dari pihak pengadu dan/atau pihak yang diadukan terhadap kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pejabat yang memberikan tugas verifikasi dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterimanya, wajib segera mengambil keputusan diterima atau ditolaknya usulan rekomendasi.

Hasil verifikasi pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat bersifat terbuka sepanjang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui oleh masyarakat.

Biaya untuk melakukan kegiatan pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dalam Keputusan ini yang dilakukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur dibebankan pada APBD, sedangkan Menteri Negara Lingkungan Hidup dibebankan pada APBN dan/atau sumber dana lain yang tidak mengikat.

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

2001 1.990

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Hidup, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun.

Pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan/atau mengurangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan/atau pengimpor. Tata cara registrasi dan sistem registrasi nasional B3 ditetapkan dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab. Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan yang melakukan kegiatan impor B3 wajib mengikuti prosedur notifikasi.

Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet). Dan setiap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).

Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempunyai tugas untuk memberikan saran dan/atau pertimbangan kepada Pemerintah. Komisi B3 terdiri dari wakil instansi yang berwenang, wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait, wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.

Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Dalam hal tertentu wewenang tersebut dapat diserahkan menjadi urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 secara berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bidang tugas masing-masing dengan tembusan kepada Gubernur/Bupati/Walikota.

Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Klasifikasi B3; Bab III Tata Laksana dan Pengelolaan B3; Bab IV Komisi B3; Bab V Keselamatan dan Kesehatan Kerja; Bab VI Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat; Bab VII Pengawasan dan Pelaporan; Bab VIII Peningkatan Kesadaran Masyarakat; Bab IX Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat; Bab X Pembiayaan; Bab XI Sanksi Administrasi; Bab XII Ganti Kerugian; Bab XIII Ketentuan Pidana; Bab XIV Ketentuan Peralihan; Bab XV Ketentuan Penutup.