Peraturan Menteri
Pedoman Penentuan Status Mutu Air
2003
1.292
Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metode STORET (metoda ini merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan) atau Metoda Indeks Pencemaran. Dengan metoda STORET dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Sedangkan Metode Indeks Pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan.
Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda tersebut diatas.
Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metode STORET (metoda ini merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan) atau Metoda Indeks Pencemaran. Dengan metoda STORET dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Sedangkan Metode Indeks Pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan.
Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda tersebut diatas.
Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan Jasaboga
2003
9.644
Setiap jasaboga harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk memiliki izin usaha tersebut, Jasaboga harus memiliki sertifikat hygiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pengusaha dan/atau penanggung jawab jasaboga wajib menyelenggarakan jasaboga yang memenuhi syarat hygiene sanitasi. Penanggung jawab jasaboga yang menerima laporan atau mengetahui adanya kejadian keracunan atau kematian yang diduga berasal dari makanan yang diproduksinya wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat guna dilakukan langkah-langkah penanggulangan.
Untuk pembinaan teknis penyelenggaraan jasaboga dan pengawasan pelaksanaan Keputusan ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam rangka pembinaan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan Asosiasi Jasaboga, organisasi profesi dan instansi terkait lainnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif berupa teguran lisan, terguran tertulis, sampai dengan pencabutan sertifikat hygiene sanitasi jasaboga terhadap jasaboga yang melakukan pelanggaran atas Keputusan ini.
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 712/Menkes/Per/X/1986 tentang Persyaratan Kesehatan Jasaboga, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 635/Menkes/SK/VII/1988 tentang Penunjukkan Laboratorium dan Tata Cara Pemeriksaan Contoh Makanan dan Spesimen Jasaboga, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 410/Menkes/SK/VII/1991 tentang Penunjukkan Pejabat Yang Diberi Wewenang Memberikan Izin Penyehatan Makanan Jasaboga, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 362/Menkes/Per/IV/1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 712/Menkes/Per/X/1986 tentang Persyaratan Jasaboga beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penggolongan; Bab III Penyelenggaraan; Bab IV Persyaratan Hygiene Sanitas; Bab V Pembinaan dan Pengawasan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.
Pengusaha dan/atau penanggung jawab jasaboga wajib menyelenggarakan jasaboga yang memenuhi syarat hygiene sanitasi. Penanggung jawab jasaboga yang menerima laporan atau mengetahui adanya kejadian keracunan atau kematian yang diduga berasal dari makanan yang diproduksinya wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat guna dilakukan langkah-langkah penanggulangan.
Untuk pembinaan teknis penyelenggaraan jasaboga dan pengawasan pelaksanaan Keputusan ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam rangka pembinaan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan Asosiasi Jasaboga, organisasi profesi dan instansi terkait lainnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif berupa teguran lisan, terguran tertulis, sampai dengan pencabutan sertifikat hygiene sanitasi jasaboga terhadap jasaboga yang melakukan pelanggaran atas Keputusan ini.
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 712/Menkes/Per/X/1986 tentang Persyaratan Kesehatan Jasaboga, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 635/Menkes/SK/VII/1988 tentang Penunjukkan Laboratorium dan Tata Cara Pemeriksaan Contoh Makanan dan Spesimen Jasaboga, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 410/Menkes/SK/VII/1991 tentang Penunjukkan Pejabat Yang Diberi Wewenang Memberikan Izin Penyehatan Makanan Jasaboga, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 362/Menkes/Per/IV/1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 712/Menkes/Per/X/1986 tentang Persyaratan Jasaboga beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penggolongan; Bab III Penyelenggaraan; Bab IV Persyaratan Hygiene Sanitas; Bab V Pembinaan dan Pengawasan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.
Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup
2004
1.071
Setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan yang disampaikan kepada Kepala Desa, Lurah atau Camat setempat, Bupati/Walikota atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota, Gubernur atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Provinsi, serta Menteri Lingkungan Hidup bagi pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan/atau dampaknya lintas batas Provinsi dan/atau lintas batas Negara.
Dalam melakukan verifikasi, Tim Verifikasi dapat meminta keterangan atau keterlibatan di lapangan dari pihak pengadu dan/atau pihak yang diadukan terhadap kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pejabat yang memberikan tugas verifikasi dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterimanya, wajib segera mengambil keputusan diterima atau ditolaknya usulan rekomendasi.
Hasil verifikasi pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat bersifat terbuka sepanjang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui oleh masyarakat.
Biaya untuk melakukan kegiatan pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dalam Keputusan ini yang dilakukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur dibebankan pada APBD, sedangkan Menteri Negara Lingkungan Hidup dibebankan pada APBN dan/atau sumber dana lain yang tidak mengikat.
Dalam melakukan verifikasi, Tim Verifikasi dapat meminta keterangan atau keterlibatan di lapangan dari pihak pengadu dan/atau pihak yang diadukan terhadap kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pejabat yang memberikan tugas verifikasi dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterimanya, wajib segera mengambil keputusan diterima atau ditolaknya usulan rekomendasi.
Hasil verifikasi pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat bersifat terbuka sepanjang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui oleh masyarakat.
Biaya untuk melakukan kegiatan pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dalam Keputusan ini yang dilakukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur dibebankan pada APBD, sedangkan Menteri Negara Lingkungan Hidup dibebankan pada APBN dan/atau sumber dana lain yang tidak mengikat.
Organisasi Dan Tata Laksana Pusat Produksi Bersih Nasional
2004
1.427
Produksi Bersih adalah suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia dan lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup berperan sebagai fasilitator bagi terbentuknya PPBN (Pusat Produksi Bersih Nasional) yang mandiri. Susunan organisasi PPBN terdiri dari Komite Pengarah, Direktur Eksekutif, Sekretaris, Manajer Hubungan Masyarakat, dan Manajer Teknik.
Biaya pelaksanaan kegiatan PPBN untuk kurun waktu 4 (empat) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini bersumber dari Pemerinrah Republik Indonesia melalui alokasi APBN dan ProLH – GTZ berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Atas rekomendasi Ketua Komite Pengarah dan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup, Direktur Eksekutif PPBN dapat memberikan usulan untuk mengubah dan/atau mengembangkan susunan organisasi PPBN yang berada dalam kewenangan pengelolaannya atas dasar musyawarah untuk mufakat.
Daftar Isi :
Bagian Pertama : Ketentuan Umum; Bagian Kedua : Susunan Organisasi dan Pengurus; Bagian Ketiga : Tugas Komite Pengarah, Direktur Eksekutif dan Manajer PPBN; Bagian Keempat : Jenis Pelayanan PPBN; Bagian Kelima : Pembiayaan; Bagian Keenam : Ketentuan Penutup.
Kementerian Lingkungan Hidup berperan sebagai fasilitator bagi terbentuknya PPBN (Pusat Produksi Bersih Nasional) yang mandiri. Susunan organisasi PPBN terdiri dari Komite Pengarah, Direktur Eksekutif, Sekretaris, Manajer Hubungan Masyarakat, dan Manajer Teknik.
Biaya pelaksanaan kegiatan PPBN untuk kurun waktu 4 (empat) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini bersumber dari Pemerinrah Republik Indonesia melalui alokasi APBN dan ProLH – GTZ berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Atas rekomendasi Ketua Komite Pengarah dan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup, Direktur Eksekutif PPBN dapat memberikan usulan untuk mengubah dan/atau mengembangkan susunan organisasi PPBN yang berada dalam kewenangan pengelolaannya atas dasar musyawarah untuk mufakat.
Daftar Isi :
Bagian Pertama : Ketentuan Umum; Bagian Kedua : Susunan Organisasi dan Pengurus; Bagian Ketiga : Tugas Komite Pengarah, Direktur Eksekutif dan Manajer PPBN; Bagian Keempat : Jenis Pelayanan PPBN; Bagian Kelima : Pembiayaan; Bagian Keenam : Ketentuan Penutup.