Peraturan Menteri

Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air

2003 1.282

Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung radioaktif ke air atau sumber air. Bupati/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air yang melanggar baku mutu air dan menimbulkan pencemaran air.

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. Permohonan izin membuang air limbah ke air atau sumber air wajib dilengkapi data dan informasi dengan menggunakan formulir.

Bupati/Walikota wajib mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air seluruh kewajiban dan larangan bagi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis

2003 2.134

Peraturan ini mengacu kepada Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, serta Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara.

Setiap usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi serta kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi wajib melakukan pengolahan limbahnya. Ketentuan perizinan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan format permohonan izin untuk pengolahan secara biologi.

Hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan pemantauan terhadap bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang terkait minimum 6 (enam) bulan sekali.

Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi

1999 2.042

Bahwa pengelolaan irigasi adalah salah satu faktor pendukung utama bagi keberhasilan pembangunan pertanian terutama dalam rangka peningkatan serta perluasan tujuan pembangunan pertanian dari program swasembada beras menjadi swasembada pangan.

Agar pokok-pokok pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi tersebut dapat mencapai sasaran tepat guna, dipandang perlu menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum sebagai Ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai untuk mengambil langkah-langkah pelaksanaannya.

Menteri Pekerjaan Umum sebagai Ketua Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Daerah Aliran Sungai diinstruksikan untuk mengkoordinasikan penyiapan peraturan perundang-undangan serta langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi.

Pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama meliputi :
1.Pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi.
2.Pemberdayaan masyarakat petani pengelola air melalui pengembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air yang otonom, mandiri dan mengakar dimasyarakat.
3.Pengaturan penyerahan pengelolaan irigasi secara bertahap, selektif, dan demokratis kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air dengan prinsip satu jaringan irigasi satu kesatuan pengelolaan.
4.Penggalian sumber pendapatan untuk membiayai operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi dan pembangunan prasarana irigasi yang dikumpulka, dikelola dan ditetapkan penggunaannya oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air.
5.Penetapan kebijaksanaan umum tentang kelestarian sumber daya air dan pencegahan alih fungsi lahan beririgasi, sehingga berkelanjutan jaringan irigasi dapat terjaga.

Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan & Restoran

2003 1.115

Keputusan Menteri ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 304/Menkes/Per/X/1989 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Makan dan Restoran.

Setiap rumah makan dan restoran harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan dikeluarkannya sertifikat laik hygiene sanitasi rumah makan dan restoran dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Penanggung jawab rumah makan dan restoran yang menerima laporan atau mengetahui adanya kejadian keracunan atau kematian yang diduga berasal dari makanan yang diproduksinya wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat guna dilakukan langkah-langkah penanggulangan.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pengujian mutu makanan dan spesimen terhadap rumah makan dan restoran yang dikerjakan oleh tenaga Sanitarian. Dalam hal pembinaan teknis penyelenggaraan rumah makan dan restoran serta pengawasan pelaksanaan Keputusan ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif terhadap rumah makan dan restoran yang melakukan pelanggaran atas Keputusan ini.

Daftar Isi :
Bab I Ketentuan Umum; Bab II Penyelenggaraan; Bab III Penetapan Tingkat Mutu; Bab IV Persyaratan Hygiene Sanitasi; Bab V Pembinaan dan Pengawasan; Bab VI Sanksi; Bab VII Ketentuan Peralihan; Bab VIII Ketentuan Penutup.

Perubahan atas UU No.41/1999 tentang Kehutanan

2004 1.164

Dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut. Ketidakpastian itu terjadi karena dalam ketentuan Undang-Undang tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut tetap berlaku.

Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku sesudah berlakunya Undang-Undang tersebut dan tidak diberlakukan surut.

Ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan tersebut dapat mengakibatkan Pemerintah berada dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi.

Perubahan atas UU No.41/1999 tentang Kehutanan

2004 1.354

Dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut. Ketidakpastian itu terjadi karena dalam ketentuan Undang-Undang tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut tetap berlaku.

Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku sesudah berlakunya Undang-Undang tersebut dan tidak diberlakukan surut.

Ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan tersebut dapat mengakibatkan Pemerintah berada dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi.