Kiprah Volume 37/ Tahun X/ Mei Juni 2010 Kota Tanpa Permukiman Kumuh, Bisakah?

Tidak siapnya kota-kota menghadapi ledakan penduduk dan urbanisasi yang tidak terkendali menimbulkan berabgai permasalahan, salah satunya semakin suburnya permukiman kumuh di kota-kota besar di dunia, tek terkecuali Indonesia. Semakin pesatnya keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indicator gagalnya pemerintah dalam melaksanakan programpembangunan perumahan dan tata kota yang berkelanjutan. Tidak hanya meruwetkantata ruang kota, padatnya permukiman kumuh di sepanjang tepian sungai, tepi rel kereta api, areal pemakaman umum, di bawah jembatan, maupun jalan layangini juga berdampak bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan standar hidup warga perkotaan, serta tindak kejahatan. Konflik pun tak terhindarkan ketika pemerintah daerah berkepentingan untuk mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul, sementara keberadaan permukiman kumuh justru dianggap sebagai solusi bagi warga miskin yang hidup di perkotaan. Minimnya sosialisasi pemerintah, terutama pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan, sering kali menimbulkan penolakan warga. Bahkan, tak jarang mereka sampai bertindak anarkis demi membela tempat tinggal “miliknya”. Meskipun demikian, beberapa pemerintah dan kepala daerah berhasil menemukan solusi tepat dalam pengaturan dan penyediaan permukiman yang lebih layak bagi warganya. Kota Solo misalnya, berhasil menangani permasalahan permukiman kumuh di wilayahnya melalui pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan budaya lokal.

Permasalahan permukiman dan perkotaan, khususnya permukiman kumuh, pun kian menjadi sorotan dunia. Sejak awal tahun 2010 ini, telah diadakan beberapa pertemuan internasional membahas pembangunan permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan. Diawali dengan diadakannya Worl Urban Forum 5 (WUF) di Brazil, kemudian acara World Shanghai Expo 2010 di Cina, hingga rencana penyelenggaraan 3rd Asia Pacific Minister’s Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD) yang dilaksanakan tanggal 22-24 Juni 2010 di Solo, Indonesia.

Majalah KIPRAH kali ini mengangkat permasalahan permukiman kumuh yang menjadi PR besar pemerintah yang belum selesai sebagai Laporan utama. KIPRAH mengupas berbagai persoalan permukiman kumuh, diantaranya suara hati pemukim kumuh, okupasi bantaran kali yang semakin marak, menjamurnya permukiman pinggiran rel KA, arus urbanisasi yang tak pernah berhenti, upaya pemerintah menangani permukiman kumuh bebas kumuh 2020, serta revitalisasi Boezoem Morokrembangan. Selain itu ada laporan khusus WUF 5, world Expo Shanghai, dan APMCHUD 2010, event internasional peduli perkotaan, pembaharuan pengaturan usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi, kompensasi eksternalitas pembangunan kota, menjalin kerjasama global dalam AMPCHUD di Surakarta 22-24 Juni 2010, dan tentunya topik-topik yang tak kalah menarik lainnya.