Kategori Digilib
Menimba Air di Kota Angin
Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur dikenal dengan julukan Kota Angin. Kondisi alam tersebut mendorong inisiatif masyarakat Desa Joho, Kecamatan Pace, Nganjuk untuk membangun sebuah sistem penyediaan air minum (SPAM) dengan teknologi yang akrab dengan angin, yaitu teknologi kincir angin.
Desa Joho, Kecamatan Pace berjarak sekitar 30 km dari Kota Nganjuk. Penduduk desa ini agak sedikit kurang mujur dibandingkan 62 ribu jiwa penduduk Kecamatan Pare lainnya. Desa ini terletak di daerah perbukitan dan di bawahnya terdapat sungai kering dan cukup lebar. Keberadaanya yang di atas bukit membuat Desa Joho menerima terpaan angin lebih banyak dari desa-desa lainnya di Kecamatan Pare.
Mata pencarian penduduk desa tersebut didominasi oleh sektor pertanian. Namun karena sebagian besar wilayah desa itu berkontur tanah kering, maka tak heran jika sebagian penduduk menjadi tenaga kerja di kota-kota besar, alias migran. Di samping itu, air minum termasuk barang langka. Penduduk harus berjalan menuruni tebing sejauh 2 km lebih untuk mendapatkan air layak pakai guna memenuhi kebutuhan pokoknya itu.
Secara umum, menurut Kasi Perencanaan Ekonomi Sudin Prasarana Wilayah Kab. Nganjuk, Nugraha, Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kabupaten Nganjuk memang unik. Sebagai Kota Angin, Nganjuk memiliki banyak sumber air, namun penduduknya banyak berdomisili di lereng pegunungan, sementara sumber airnya cenderung berada di dataran yang lebih rendah dari permukiman penduduk. Ironis memang, karena data geologis menyebutkan, separuh dari sumber air tanah di Provinsi Jawa Timur tersebar di dua kabupaten, yaitu Nganjuk dan Kediri. Kabupaten Nganjuk sendiri memiliki 7 airterjun.
Sudah sejak lama penduduk desa ini jadi manusia-manusia tangguh menuruni tebing jurang untuk mengambil air sebelum akhirnya beberapa inisiatif warga membuat beberapa titik sumber air dengan teknologi pompa submersible. Namun karena jarak yang jauh antara sumber air dengan perumahan serta ada beberapa dusun yang tidak dapat mengakses, warga Dusun Beran kemudian mengusulkan kepada pemerintah daerah agar dibangun teknologi kincir angin untuk mengangkat air dari dalam tanah benar-benar terwujud pada 2007.
Warga Dusun Beran tidak bisa mengakses sumber air dengan cara gravitasi atau diangkat dengan pompa submersible. Masyarakat Dusun lain yang berdekatan dengan sumber-sumber tersebut juga harus ngantri dan berebut air. Hal itu terlihat dari pemandangan sehari-hari di mana masyarakat yang tidak bekerja siang itu harus menunggu di keran-keran air sebagai tempat pengambilan. Sebagian lagi bekerja karena mendapat jatah pengambilan sore atau malam harinya. Masyarakat Dusun Dampit harus mengambil air dengan memompa tiga kali dari sumber yang berada di jurang sebelum akhirnya pada Tahun 2006 diganti dengan pompa submersible. Begitu juga Dusun Sumberngeneng yang mengandalkan pompa submersible sejak 2004 lewat program Prasarana dan Sarana Air Bersih Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum.
Semangat warga Dusun Beran memuncak pada 2006. Mereka tak mengindahkan kemiskinan yang dideritanya, untuk urusan kebutuhan pokok bernama air minum, mereka rela mengebor sendiri sumber air tanah sebelum akhirnya disempurnakan dengan kincir angin. Dana berjumlah Rp 20 juta pun rela mereka gelontorkan demi memunculkan air dari tanah yang selama ini terpendam di bawah tanah yang mereka pijak.
Cakupan pelayanan pertama mencakup warga yang rumahnya tak terlalu jauh dari kincir karena pipa jaringan baru dipasang pada tahun 2008 ini. Ditjen Cipta karya memberikan bantuan berupa Hidran Umum untuk memfasilitasi mereka dalam pengambilan air yang berhasil diangkat oleh kincir. Air dari tanah ditampung dalam 2 HU untuk diambil masyarakat. Selain 2 HU di lokasi kincir angin, ada 5 HU lain yang siap digunakan untuk penampungan air di beberapa titik perumahan penduduk agar mudah dijangkau. Tentu saja penggunaan 5 HU tersebut menunggu pemasangan pipa jaringan selesai dan kemudian dilanjutkan dengan pemasangan sambungan rumah.
Kincir berdiameter 3 meter dengan panjang sekitar 10 kaki atau 5 meter. Kapasitas produksi lebih kurang 15 m3 per hari. Sementara ini sudah melayani sekitar 300 KK, baik dari Dusun beran maupun dusun sebelahnya. Kincir angin didanai dari APBD I TA 2007 hasil kerja sama Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Australia, sedangkan pipa jaringan sepanjang 1.100 m disediakan dari APBD II (Kabupaten Nganjuk). Selain pipa jaringan, Pemdajuga menyediakan SANIMAS dengan 2 WC Umum dan 2 Hidran Umum.
Kerja sama Pemerintah Australia dengan Pemprov Jawa Timur tidak hanya dalam pengadaan Kincir Angin, namun juga berupa Teknologi Tepat Guna lain bernama Solar Cell, atau pembangkit air minum bertenaga surya. Jumlah total teknologi solar cell di Kabupaten Nganjuk berjumlah 3 unit yang berasal dari Pemprov dan Australia, APBD Kab. Nganjuk, dan APBN melalui Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum.
Kepuasan masyarakat dengan teknologi solar cell memicu Pemda Kabupaten untuk menambah beberapa unit Solar Cell antara lain di Desa Pulewetan, Desa Kedungringin, Desa Ngepung (2 unit), Desa Sumbermiri, Kecamatan Lengkong, dan Desa Gamping Kecamatan Ngluyu. Solar cell di desa-desa tersebut berhasil melayani kebutuhan masyarakat dengan beragam jumlah kepala keluarga. Ada yang melayani 125 KK, 50an KK, bahkan sampai ada yang lebih dari 300 KK. Desa yang menggunakan solar cell rata-rata berada di wilayah dataran rendah dengan intensitas sinar matahari cukup tinggi.
Berbeda dengan solar cell yang hanya terkendala mendung dan malam untuk menyerap sinar matahari, kincir angin terkendala ketika angin tidak mampir ke Desa Joho. Dari kondisi tersebut dapat dibayangkan bagaimana tekad dan kepercayaan diri warga Dusun Beran, Desa Joho memanfaatkan kincir angin untuk kebutuhan air minum. Dari kondisi iklim Kabupaten Nganjuk terlihat angin dapat berhembus kencang nyaris tanpa henti pada masa sekitar Juni hingga Oktober atau pada musim kemarau. Jumlah curah hujan per bulan selama 2002 tercatat, pada bulan Januari yaitu 7.416 mm dengan rata-rata 436 mm, pada bulan itu merupakan curah hujan terbesar. Sedangkan terkecil terjadi pada bulan November dengan jumlah curah hujan 600 mm dengan rata-rata 50mm. Pada bulan Juni sampai dengan Oktober tidak terjadi hujan sama sekali.
Pemanfaatan air yang diproduksi kincir angin diperkirakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih, tidak untuk irigasi. Disebutkan, kapasitas produksi yang maksimal dihasilkan per harinya sebanyak 15 m3. Jumlah tersebut diperkirakan terbagi habis untuk mensuplai 7 HU dan 2 WC Umum di permukiman warga Dusun Beran.
Menurut Kasi Perencanaan Satker Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Minum Provinsi Jawa Timur, Bambang Sukardiono, kincir angin sebetulnya bukan teknologi yang baru, terutama bagi Negeri Kanguru, Australia. Menurutnya yang perlu digarisbawahi adalah semangat kebersamaan warga Desa Joho dalam menyediakan air minum di desanya. Ditilik dari penerapan teknologi air minum di desa-desa lain yang rata-rata sukses menggunakan solar cell, masyarakat Desa Joho ingin membuktikan kebenaran Kabupaten Nganjuk sebagai Kota Angin dengan menerapkan Teknologi Kincir Angin. Dari sisi harga, teknologi kincir angin bisa dikatakan setengah dari harga solar cell yang mencapai angka hingga Rp 200 juta.
Camat Pare, Muslan merasa bangga diterapkannya teknologi kincir angin di Dusun Beran Desa Joho. Selain dapat mengakhiri riwayat perjalanan jauh menuju sumber air, kesehatan masyarakat juga diharapkan meningkat. Lebih dari itu, setelah musyawarah memutuskan untuk menerapkan teknologi kincir angin, warga lebih mudah diajak rembug untuk urusan lain. Dusun Beran terdapat 4 Rukun Tetangga dengan sekitar 140 KK, dan mereka paling gigih memperjuangkan KincirAngin agar tidak kalah dengan warga di 6 dusun lainnya di Desa Joho.
Lurah Desa Joho, Samino menerangkan bahwa saat ini sedang dibentuk Kelompok Masyarakat untuk mengelola SPAM dengan teknologi kincir angin. Kelompok ini diharapkan memelihara, menampung keluhan dan mengelola iuran masyarakat yang rencananya akan ditarif Rp 3000 per KK tiap bulannya. Angka tersebut lebih murah ketimbang iuran warga Dusun lain yang memanfaatkan pompa submersible dengan tenaga listrik. Bahkan karena pertimbangan lebih murah, Samino berharap masyarakat desa lain yang selama ini tergabung dalam Himpunan Pengguna Air Minum (HIPAM) atau secara individu dapat diterapkan SPAM KincirAngin. (Bcr)